Pontianak, BerkatnewsTV. HIPMI telah menjadi salah satu organisasi usaha yang paling seksi di Indonesia. Ketua umum menjadi posisi yang kerap diperebutkan oleh kader dengan berbagai cara. Sehingga tidak heran, di setiap ajang pemilihan di tingkat nasional seperti Munas maupun daerah seperti Musda dan Muscab kerap menimbulkan keributan.
Dinamika seperti ini telah menjadi tradisi turun temurun yang sering dilihat oleh publik. Bahkan, Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) serta Peraturan Organisasi (PO) tidak lagi menjadi landasan hukum sehingga kerap dilanggar agar calon yang diunggulkan bisa terpilih menjadi ketua umum.
Slogan bertanding untuk bersanding sulit untuk diwujudkan. Terlebih, di tingkat provinsi setiap bakal calon harus merogoh koceknya hingga Rp1 miliar agar dapat menduduki posisi Ketua Umum HIPMI.
Seperti yang terjadi di Musda HIPMI Kalbar XVI TAHUN 2025 yang baru saja digelar pada Sabtu (17/5) di Hotel Aston Pontianak. Berbagai pertanyaan dan pendapat pro kontra muncul dari senior dan kader HIPMI, apakah Musda HIPMI Kalbar telah melalui mekanisme organisasi.
Tatkala sempat terjadi kericuhan di ruang yang nan megah, tiba-tiba harus dilangsungkan di dalam sebuah kamar hotel yang sempit.
Ya, kamar Hotel Aston Pontianak menjadi saksi bisu bagaimana palu pimpinan sidang diketuk untuk menetapkan Ridho Adyt Setiawan sebagai Ketua Umum BPD HIPMI Kalbar periode 2025–2028.
Mengurai Kronologi: Dari Gedung Paskhas ke Kamar Hotel
Musda HIPMI Kalbar ke-XVI awalnya digelar di Markas Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat), Lanud Supadio Pontianak—lembaga yang dulu dikenal sebagai Paskhas. Namun, entah angin apa yang bertiup, acara yang seharusnya berlangsung formal itu kemudian berpindah lokasi ke kamar Hotel Aston.
Di kamar tersebut, Febriadi selaku pimpinan sidang memimpin jalannya musyawarah. Di hadapan para peserta, ia mengetuk palu untuk menetapkan Ridho Adyt Setiawan sebagai Ketua Umum BPD HIPMI Kalbar.
Proses ini bahkan disaksikan oleh Gulam Mohamad Sharon, anggota DPR RI yang juga Ketua Umum BPD HIPMI Kalbar periode 2022–2025 demisioner.
“Menyatakan bahwa saudara Ridho Adyt Setiawan melalui musyawarah daerah ke-XVI HIPMI Kalimantan Barat berdasarkan pemilihan jujur, adil, dan sesuai AD/ART terpilih sebagai ketua umum BPD HIPMI Kalimantan Barat masa bakti 2025–2028,” ujar Febriadi saat membacakan hasil musyawarah.
Namun, apakah benar proses ini dilakukan secara “jujur” dan “adil”? Pertanyaan inilah yang kemudian memantik protes keras dari berbagai pihak.
Suara Kritik: “Ini Sejarah Buruk yang Belum Pernah Terjadi”
Mantan Ketua BPD HIPMI Kubu Raya, Robby menilai apa yang terjadi di kamar Hotel Aston adalah sejarah buruk bagi organisasi HIPMI di Kalimantan Barat.
Ia menyebut Ridho Adyt Setiawan sebagai “ketua dalam kelambu,” sebuah julukan satir yang menggambarkan betapa tidak transparannya proses pemilihan tersebut.
Ia menegaskan bahwa dalam sejarah HIPMI Kalbar, tidak pernah ada pemilihan ketua umum yang dilakukan di kamar hotel. Baginya, tempat tersebut tidak layak untuk sebuah acara yang seharusnya menjadi contoh profesionalisme dan integritas.
“Tidak pernah dalam sejarah Musda HIPMI dalam kamar hotel memilih ketua. Ini adalah preseden buruk yang akan sulit dilupakan.”
Mengapa Ini Penting? Citra Organisasi vs Dunia Usaha
HIPMI adalah salah satu organisasi pengusaha muda terbesar di Indonesia. Didirikan pada tahun 1972, HIPMI telah melahirkan banyak tokoh nasional yang berkontribusi signifikan bagi perkembangan ekonomi negara.
Oleh karena itu, apa yang terjadi di Musda HIPMI Kalbar bukan hanya soal internal organisasi, melainkan juga dampaknya terhadap citra dunia usaha secara keseluruhan.
Bayangkan, jika calon-calon pengusaha muda melihat bahwa proses pemilihan pemimpin bisa dilakukan di kamar hotel tanpa transparansi, apa yang akan mereka pikirkan tentang organisasi ini?
Apakah mereka masih akan percaya bahwa HIPMI adalah wadah yang tepat untuk mengembangkan potensi diri?
Baca Juga:
- Musdalub Abaikan Aturan, Ketum HIPMI Kalbar Belum Sah
- Jelang Muscab IV, PIC HIPMI Kalbar Asistensi HIPMI Kubu Raya
Di sisi lain, kasus ini juga mencerminkan betapa rapuhnya sistem demokrasi di dalam organisasi.
Jika proses pemilihan ketua umum saja bisa dilakukan dibalik pintu tertutup, lalu bagaimana dengan kebijakan-kebijakan strategis lainnya? Apakah semua keputusan akan diambil dalam suasana “kelambu” seperti ini?
Menyibak Tabir Kontroversi
Untuk lebih memahami kontroversi ini, mari kita lihat beberapa fakta penting:
Surat Keputusan (SK): Penetapan Ridho Adyt Setiawan sebagai Ketua Umum BPD HIPMI Kalbar tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Musda HIPMI Kalbar Nomor 07/MUSDA-XVI/HIPMI/KALBAR/2025.
SK ini menyebutkan bahwa Ridho terpilih secara “jujur, adil, dan sesuai AD/ART organisasi.”
Keberadaan Tokoh Penting: Gulam Mohamad Sharon, anggota DPR RI yang juga mantan Ketua Umum BPD HIPMI Kalbar, hadir di kamar Hotel Aston saat pengetukan palu.
Keberadaannya tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini sekadar kebetulan, atau ada kepentingan tertentu di baliknya?
Bahkan, lucunya Sharon harus duduk melantai bersama peserta lainnya bak menghadap seorang raja untuk mendengarkan titahnya dalam memutuskan Ridho Adyt Setiawan sebagai Ketua Umum BPD HIPMI Kalbar periode 2025 – 2028.
Reaksi Publik: Selain Roby, banyak pihak lain yang juga menyuarakan protes mereka.
Beberapa anggota HIPMI Kalbar bahkan mengancam akan mengajukan banding atas hasil musyawarah ini.
Ketika Demokrasi Digantikan Kelambu
Jika kita melihat peristiwa ini dari sudut pandang lain, maka gambaran video yang beredar luas terlihat adalah ironi besar.
Di era modern yang serba terbuka, ternyata masih ada orang-orang yang memilih untuk main petak umpat di balik kelambu.
Palu yang seharusnya diketuk di tengah forum terbuka malah jatuh di atas kasur. Suara-suara aspirasi yang seharusnya didengar oleh semua peserta justru tenggelam dalam bisikan-bisikan di kamar hotel.
Demokrasi, yang seharusnya menjadi fondasi utama organisasi, kini digantikan oleh kelambu tipis.
Transparansi, yang seharusnya menjadi prinsip dasar, kini lenyap begitu saja. Dan yang paling tragis, kepercayaan publik terhadap organisasi ini mulai retak.
Menuju Reformasi atau Kemunduran?
Peristiwa Musda HIPMI Kalbar ke-XVI di kamar Hotel Aston adalah cerminan dari dua kemungkinan besar: reformasi atau kemunduran.
Jika organisasi ini mampu belajar dari kesalahan dan memperbaiki sistem demokrasinya, maka ini adalah awal dari transformasi menuju ke arah yang lebih baik.
Namun, jika mereka tetap mempertahankan cara-cara seperti ini, maka bukan tidak mungkin HIPMI akan kehilangan relevansinya di mata generasi muda.
Sebagai pengingat, marilah kita renungkan kutipan bijak dari John F. Kennedy: “Demokrasi adalah cara terburuk untuk mengatur pemerintahan, kecuali semua cara lain yang telah dicoba.” Jika demokrasi saja sudah diabaikan, lalu apa yang tersisa?
Musda HIPMI Kalbar ke-XVI di kamar Hotel Aston adalah pelajaran berharga bagi semua organisasi di Indonesia.
Ini bukan hanya tentang siapa yang terpilih sebagai ketua umum, melainkan tentang bagaimana proses pemilihan itu dilakukan.
Semoga peristiwa ini menjadi titik balik bagi HIPMI untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar: transparansi, kejujuran, dan integritas.(tmB)