Pontianak, BerkatnewsTV. Direktur Eksekutif Teraju Indonesia, Agus Sutomo menjelaskan, kondisi pekerja migran di Kalbar sudah berada pada level mengkhawatirkan.
Sebab, masih ada pekerja di Malaysia maupun migran di Kalbar yang mayoritas terserap di sektor perkebunan kelapa sawit, hak-haknya belum terpenuhi.
Ia menilai, berdasarkan indikator ILO, hampir semua unsur kerja paksa dan perbudakan modern terpenuhi. Tak ada kontrak. Upah tak jelas. Biaya kerja dibebankan ke buruh, hingga tidak didaftarkan ke BPJS.
“Ini sudah masuk ranah pidana,” ujarnya saat workshop dalam rangka memperingati Hari Migran Internasional, Kamis (18/12).
Ia menyebut, lemahnya pengawasan pemerintah diperparah oleh tumpang tindih regulasi dan ego sektoral antar lembaga. Akibatnya, kasus-kasus pelanggaran terhadap buruh migran seolah dibiarkan tanpa penyelesaian.
Baca Juga:
- IJMI Temukan “Perbudakan Modern” di Perusahaan Sawit di Kalbar
- 600 Ribu Ha Kebun Sawit di Kalbar Dikelola Mandiri. Hanya 19 Ribu Ha Kantongi STDB
Sementara, pemerintah sering mengklaim telah menciptakan lapangan kerja, tapi lupa memastikan hak-hak buruh dipenuhi. “Perlindungan terhadap pekerja migran berhenti di atas kertas,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti, tak adanya data pekerja migran, baik di tingkat desa maupun daerah. Sehingga, tanpa data, negara gagal mendeteksi risiko dan terlambat bertindak ketika terjadi pelanggaran.
“Bagaimana mau melindungi kalau data saja tidak ada? Ini kegagalan administrasi sekaligus kegagalan negara,” ungkapnya.
Dalam memperingati Hari Migran Internasional, IJMI dan Teraju Indonesia mendesak pemerintah menjadikan perlindungan pekerja migran sebagai agenda serius.
Mulai dari edukasi bahaya Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO hingga ke desa, penguatan Satgas TPPO, hingga penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar hak buruh.
Sebab, jika kondisi ini terus dibiarkan, pekerja migran akan terus menjadi buruh murah. “Negara secara tidak langsung membiarkan praktik kerja paksa berlangsung,” ucapnya.(ebm)













