Penempatan Rp200 Triliun Langgar Konstitusi dan Tiga Undang-Undang

Penempatan Rp200 Triliun Langgar Konstitusi dan Tiga Undang-Undang
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini, P.hD yang menilai kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang telah menggelontorkan Rp200 triliun untuk 5 bank himbara telah melanggar konstitusi dan tiga undang-undang sekaligus. Ia pun membeberkan prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan dalam pengucuran anggaran.

Jakarta, BerkatnewsTV. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menggelontorkan dana sebesar Rp200 triliun kepada lima bank Himbara seperti Bank Mandiri, Bank BTN, Bank BRI, Bank BNI dan Bank BSI. Namun, kebijakan Purbaya mendapat sorotan tajam dari para ahli ekonom dan perbankan Indonesia.

Salah satunya Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini, P.hD yang menilai kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa itu telah melanggar konstitusi dan tiga undang-undang sekaligus.

Menurutnya, proses penyusunan, penetapan dan alokasi APBN diatur oleh UUD 1945 Pasal 23, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU APBN setiap tahun.

“Inilah prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan, yang harus dijalankan karena anggaran negara masuk ke dalam ranah publik. Anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan,” tegasnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi, Selasa (16/9).

Menurut Didik, proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main sebab jika tidak dimasa mendatang akan menjadi preseden anggaran publik dipakai seenaknya, semau gue dan sekehendak pejabatnya secara individu. Alolaksi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau perintah presiden sekalipun. Pejabat-pejabat negara tersebut harus taat aturan menjalankan kebijakan sesuai Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang datang dari kementrian lembaga dan pemerintah daerah.

“Tidak ada tiba-tiba program datang nyelonong di tengah-tengah semaunya,” tuturnya.

Selain itu tambah Didik, program-program yang disusun teratur ada di dalam nota keuangan yang secara resmi diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Karena anggaran negara adalah ranah publik, maka Proses politik yang bernama legislasi dijalankan bersama oleh DPR dengan pembahasan-pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri dan badan anggaran dengan menteri keuangan.

Baca Juga:

Sehingga menurut Didik setiap program yang menjalankan anggaran negara tidak melalui proses legislasi adalah pelangaran terhadap konstitusi. Jika ada kebijakan dan program nyelonong dengan memanfaatkan anggaran maka kebijakan tersebut hanya kehendak individu pejabat dan tidak ada proses legislasi, maka ini terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara.

“Jadi setiap rupiah dari anggaran negara harus lewat pembahasan dengan DPR (Legislative Deliberation). Berdasarkan asumsi yang disepakati komisi-komisi bahas alokasi K/L secara detail dan Badan Anggaran merumuskan secara hasil akhir pembahasan tersebut untuk kemudian disetujui disetujui DPR dalam sidang paripurna. Baru setelah melewati proses legislasi seperti ini anggaran negara tersebut bisa dialokasikan untuk dilaksanakan di sektor-sektor oleh kementrian lembaga dan di daerah oleh pemda. Inilah proses yang sah dari program pemerintah yang melibatkan alokasi anggaran negara. Tidak bisa lewat keputusan menteri atau SK gubernur,” terangnya.

Disebutkan Didik, pelaksanaan anggaran & pengelolaan kas dijalankan oleh Kementrian Keuangan, baik penerimaan, belanja maupun utang. Semua pengelolaan tersebut harus berdasarkan dan diatur oleh undang-undang dan karenanya pejabat mana pun tidak boleh melanggarnya.

Pengeluaran dana Rp200 triliun dikatakannya juga berpotensi melanggar UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, seperti terlihat pada pasal 22, ayat 4, 8 dan 9.

Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat 9. Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas pada operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang seingat di kepala lalu dijalankan.

“Jelaslah bahwa tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR. Bukan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang lepas dari pembiayaan APBN. Meskipun tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan melenceng dari amanah Pasal 22 khususnya ayat 8 dan 9 UU No. 1/2004 tersebut,” ujarnya.

Memang menurut Didik, pada ayat 4 Undang – Undang ini membolehkan Menteri Keuangan membuka rekening (penerimaan dan pengeluaran) di bank umum. Tetapi rekening tersebut terbatas pada kepentingan operasional APBN, bukan untuk melaksanakan program yang tidak ditetapkan APBN. Penempatan dana Rp200 triliun dari anggaran negara secara spontan tersebut juga melanggar Pasal 22 ayat 4 UU 1/2004 tersebut.

“Saya menganjurkan agar presiden turun tangan untuk menghentikan program dan praktek jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya tiga undang-undang dan sekaligus konstitusi. Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Program tersebut harus dimulai dari proses legislasi yang baik melalui APBN dan diajukan dengan sistematis berapa jumlah yang diperlukan dan program apa saja yang akan dijalankan. Tidak ada lagi program yang diambil dari ingatan sepintas yang keluar dari wawancara spontan yang dicegat atau “doorstop”,” pungkasnya.(rls/tmB)