loading=

Film Pantun Iban Angkat Budaya Lisan Dayak

Film Pantun Iban Angkat Budaya Lisan Dayak
Sebuah film dokumenter yang mengangkat kekayaan sastra lisan Dayak Iban bertajuk Pantun Iban resmi ditayangkan di Port99 pada Minggu (25/5/2025) malam. Foto: tmB/berkatnewstv

Pontianak, BerkatnewsTV. Sebuah film dokumenter yang mengangkat kekayaan sastra lisan Dayak Iban bertajuk Pantun Iban resmi ditayangkan di Port99 pada Minggu (25/5) malam.

Karya ini merupakan hasil produksi tim kreatif lokal yang terinspirasi dari pengalaman lapangan di komunitas Iban, dengan dukungan program dan hibah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Film ini tidak sekadar mendokumentasikan, tetapi juga menghidupkan kembali warisan budaya yang hampir punah: pantun Iban — bentuk ekspresi sastra lisan yang kini jarang dilantunkan di kalangan muda Indonesia, berbeda dengan komunitas Iban di Sarawak, Malaysia, yang masih aktif mempraktikkannya dalam berbagai upacara adat.

Andas selaku sinematografer, menjelaskan ide awal muncul dari pengalamannya sebagai jurnalis televisi lokal yang pernah bertugas di kawasan perladangan Dayak. Di sana, ia bertemu dengan seorang ibu yang satu-satunya masih bisa melantunkan pantun Iban dengan fasih.

“Waktu itu kami membuat dokumenter perladangan. Ternyata, ibu ini bisa berpantun. Itu awalnya. Tahun 2020 kami ajukan ide untuk memproduksi film dan membukukan pantun-pantun itu. Karena ini bukan sekadar film, tapi juga upaya pelestarian. Jadi acaranya ada pameran seni, pementasan dan lain – lain. Tapi yang berhubungan dengan kultur bunyi-bunyian, makanya film yang diputar semuanya film berhubungan sama muslik dan sastra lisan,” ujarnya pada Minggu (25/5).

Baca Juga:

Ia juga menjelaskan bahwa produksi berlangsung hampir dua minggu dengan tinggal langsung di kawasan tersebut, wilayah komunitas Iban. Tim yang terlibat meliputi peneliti, penerjemah, hingga dokumentalis, yang bekerja sama menerjemahkan pantun ke dalam buku serta teks visual dalam film.

“Kami baru tahu, ternyata hanya satu orang ibu itu saja yang bisa pantun di kawasan itu. Sementara generasi muda belum ada yang meneruskan. Itu menyentuh dan sekaligus memprihatinkan,” tambah Hatta.

Film ini juga menggambarkan tiga dimensi kehidupan selama pandemi: hubungan antara manusia dengan sesama, manusia dengan alam dan manusia dengan kitab suci. Tiga matra tersebut menjadi struktur naratif film yang mendalam dan reflektif.

Selain penayangan perdana, film ini diharapkan bisa menjadi awal dari gerakan revitalisasi pantun Iban. Ke depannya, tim berharap karya ini dapat diputar di berbagai komunitas Dayak dan lembaga pendidikan, sebagai bahan belajar dan sumber inspirasi generasi muda.

“Begitu kami datang, anak-anak muda mulai bertanya. Bahasa-bahasa tua muncul lagi saat kami menyalin pantun. Itu salah satu capaian kecil tapi berdampak,” kata Hatta.

Ironisnya, saat proses produksi, tim menemukan bahwa referensi pantun Iban yang tersedia sebagian besar berasal dari Malaysia. Sedangkan Indonesia belum memiliki dokumentasi tertulis serupa. Oleh karena itu, buku hasil proyek ini akan menjadi salah satu dokumentasi awal penting dalam pelestarian budaya lisan Iban di tanah air.(ebm)