PT ACWI Gelapkan Pajak Walet Rp280 Miliar, Ini Pernyataan Balai Karantina

Balai Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Kalbar menyatakan kasus PT ACWI diduga gelapkan pajak walet di Sanggau sebesar Rp280 miliar tidak ada kaitannya dengan persyaratan ekspor yang diajukan.
Balai Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Kalbar menyatakan kasus PT ACWI diduga gelapkan pajak walet di Sanggau sebesar Rp280 miliar tidak ada kaitannya dengan persyaratan ekspor yang diajukan.

Sanggau, BerkatnewsTV. Balai Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Kalbar menyatakan kasus PT ACWI diduga gelapkan pajak walet di Sanggau sebesar Rp280 miliar tidak ada kaitannya dengan persyaratan ekspor yang diajukan.

“Terkait retribusi pajak daerah tidak ada kaitannya dengan persyaratan ekspor karantina. Silahkan ditanyakan ke pihak perusahaan terkait hal tersebut,” kata Kepala Balai Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Kalbar, Amdali Adhitama saat dikonfirmasi, Senin (18/3).

PT Anugrah Citra Walet Indonesia (ACWI) merupakan salah satu eksportir Sarang Burung Walet (SBW) ke Tiongkok. Salah satu persyaratan dari Tiongkok terkait ekspor tersebut melalui GACC yaitu mensyaratkan ketelusuran SBW sampai ke Rumah Burung Walet (RBW) yang ada di Sanggau.

Disebutkan Amdali, tindakan karantina terhadap pengeluaran SBW diatur sesuai Permentan nomor 26 tahun 2020.

Untuk pemenuhan persyaratan ekspor tersebut, karantina melakukan registrasi rumah burung walet agar bahan baku SBW dapat ditelusuri dari hulu sampai hilir.

“Tidak hanya PT ACWI, semua perusahaan yang ingin ekspor SBW ke Tiongkok harus meregistrasi RBW-nya melalui karantina dengan melakukan permohonan registrasi RBW. Hal tersebut guna memastikan SBW yang diekspor dapat diterima negara Tiongkok,” ujarnya.

Registrasi RBW hanya untuk pemenuhan persyaratan ekspor ke negara Tiongkok. Negara lain tidak mensyaratkan itu, sehingga perusahaan eksportir SBW ke non Tiongkok tidak melakukan permohonan registrasi RBW.

Ia jelaskan tindakan karantina terhadap pengeluaran SBW khusus ke Tiongkok dilakukan dari registrasi RBW sampai ke proses SBW di pabrik, hulu sampai ke hilir.

“Maka sesuai UU 21 tahun 2019 bahwa tindakan karantina terhadap pengeluaran media pembawa (dalam hal ini ekspor SBW), prinsipnya adalah untuk mencegah keluarnya penyakit karantina dari SBW tersebut dan dalam rangka pemenuhan persyaratan negara tujuan,” bebernya.

Sehingga Amdali menegaskan adanya dugaan penipuan pajak oleh PT ACWI bukan bagian dari tupoksi karantina.

Baca Juga:

Kasus ini bergulir ketika penangkar sarang burung walet di Sanggau merasa ditipu oleh PT Anugrah Citra Walet Indonesia (ACWI) yang tidak komitmen menepati perjanjian kerja sama.

Ternyata perusahaan tersebut diduga telah gelapkan pembayaran pajak walet di Sanggau yang nilainya hingga mencapai Rp280 miliar.

PT ACWI selaku pengepul, telah menjadi mitra dan membangun kerja sama dengan penangkar atau petani sarang burung walet di Kabupaten Sanggau sejak Oktober 2008 silam.

Perusahaan ini merupakan eksportir sarang burung walet terbesar di Indonesia ke Tiongkok.

“Kami bermitra. Perusahaan ini merupakan eksportir terbesar walet se-Indonesia. Mereka berjanji secara lisan akan membantu membayar pajak daerah sesuai Perda,” ungkap kata salah seorang penangkar di Kecamatan Parindu, Supardi saat konfrensi pers, Senin (18/3).

Supardi menyebutkan PT ACWI telah bekerja sama dengan Badan Karantina Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Entikong untuk meregistrasi rumah walet di Kabupaten Sanggau yang berjumlah sekitar 200-an rumah.

“Persoalannya, registrasi itu sebagai salah satu syarat ekspor sarang walet. Kalau tidak teregistrasi, kita tidak tahu asal-usul barang. Kalau di Cina itu sangat ketat soal asal usul barang. Para petani pun dijanjikan akan dibayarkan pajak oleh perusahan,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, pajak yang dijanjikan oleh PT ACWI ternyata tidak dibayarkan ke Pemkab Sanggau. Jumlahnya Rp280 miliar terhitung sejak 2018 hingga pertengahan 2023. Akibatnya, retribusi sarang burung walet itu dibebankan kepada petani atau penangkar.

“Jumlah itu hasil perhitungan tonase x harga pasaran x 10% berdasarkan Perda dan data yang dikeluarkan Badan Karantina Pertanian Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Entikong. Karena tidak dibayarkan, artinya petani kan berutang pajak dengan Pemda. Saya sudah berusaha menghubungi pihak perusahaan, tapi nomor HP saya diblok,” kesalnya.(pek)