Description

Pemain Lokal Melebarkan Sayap

BerkatnewsTV. Di saat kompetisi sepakbola domestik di Indonesia belum begitu aktif, perhatian penikmat sepak bola tersedot pada turnamen-turnamen bal-balan besutan promotor.

Fokus mayoritas para pemain pun tercurah sepenuhnya di ajang tersebut. Lazimnya, bagi pemain yang masih “dilirik” klub, para pemain mengepulkan dapur keluarga dengan bermain di turnamen resmi atau bahkan tarkam.

Bagi pemain yang “kurang laku”, mereka membuka usaha sendiri, misalnya dengan berdagang atau berwirausaha. Sepakbola memang belum dapat digunakan sebagai pegangan hidup di negeri ini.

Ketika liga mengalami “musibah”, harus terdapat rencana cadangan yang dipilih. Ribuan kilometer dari tanah air, Reinhard Sokoy dan Marinus Wanewar mengambil jalan berbeda demi mengejar masa depan yang lebih cerah.

Renhard dan Marinus merupakan pemuda dari Papua yang dikontrak oleh klub Yunani, Apollon Kalamarias. Saat ini mereka masih menjalani masa pra kontak, sebelum penandatangan kontrak permanen di bulan Desember 2015 mendatang.

Apollon Kalamarias tertarik merekrut duo Papua tersebut setelah kepincut saat menyaksikan penampilan mereka di International Rabo Tournament U-19 yang diselenggarakan di Vlodrop, Belanda.

Keberanian pemain lokal untuk mengadu nasib ke luar negeri patut diacungi jempol. Mereka memiliki nyali besar untuk dapat membuktikan bahwa pemain Indonesia mampu bersaing di luar negeri.

Terlebih sangat jarang pemain lokal yang memiliki kesempatan di Eropa. Awalnya mereka pasti juga ingin berkecimpung di kompetisi domestik.

Tetapi kala liga sedang dibekukan, dimana-mana hanya tersaji turnamen pengisi kekosongan, dan pemerintah tidak bisa memberikan kejelasan perihal nasib liga selanjutnya, bermain di liga luar negeri adalah pilihan yang bijak. Tindakan yang cerdas secara rasional dan secara finansial.

Arus hijrah ke liga luar negeri sebenarnya bukanlah hal asing lagi. Setidaknya di periode awal, diawali ketika Risdianto, Abdul Kadir, Jeffry Pranata, Surya Lesmana, dan Hartono bermain di Hongkong serta Iswadi Idris di Australia pada tahun 1974.

Mayoritas pemain kita yang bermain di luar negeri sebenarnya hanya berkutat di ranah Asia-Australia. Sejarah mencatat hanya segelintir pemain yang mampu menembus kompetisi di benua biru. Kurniawan Dwi Yulianto, Kurnia Sandy, dan Bima Sakti merupakan contoh di era 90-an.

Di era 2010-an kita menemukan nama Syamsir Alam, Yerico Christiantoko, Yandi Sofyan, Manahati Lestusen, Abdurahman Lestaluhu, dan Alfin Tuasalamony.

Sayangnya terdapat benang merah yang menghubungkan nama-nama tadi yakni hampir semuanya tidak dapat dikategorikan sukses berkarir. Rata-rata hanya satu hingga dua musim membela dan kemudian memutuskan untuk pulang kampung.

Berkaca dari pengalaman para seniornya, Marinus dan Renhart memiliki pekerjaan rumah yang besar jika ingin sukses dan awet di Eropa.

Pertama, meningkatkan skill dan kualitas teknik adalah hal utama. Jamak dijumpai bahwa pemain Asia kalah bersaing lalu mengkambinghitamkan faktor postur badan sebagai alasan. Padahal banyak pemain Asia berpostur biasa yang terbilang sukses, seperti Park Ji Sung dan Shinji Kagawa. Selama skill yang dimiliki mumpuni, kalah postur tidak akan menjadi hambatan berkarir.

Kedua, sikap disiplin yang tinggi. Klub Eropa biasanya memiliki aturan ketat terhadap pemainnya. Tidak boleh merokok, tidak boleh telat datang saat latihan, tidak boleh berkendara ugal-ugalan, tidak boleh makan sembarang makanan, hingga diberlakukannya jam malam adalah sebagian diantaranya.

Tidak jarang pemain yang berbakat sekalipun sering “tersandung” akibat ketidakdisiplinan mereka. Di Eropa, para pelatih berkeyakinan bahwa tingkat kedisiplinan berbanding lurus dengan pencapaian sang pemain di lapangan hijau.

Ketiga, kemampuan beradaptasi yang bagus. Dalam hal ini, beradaptasi dalam dua artian yakni adaptasi ke permainan tim dan adaptasi terhadap lingkungan sekitar.

Kita tentunya tidak ingin lagi mendengar kabar bahwa pemain Indonesia di luar negeri tidak kerasan hanya karena homesick, kangen dengan Indonesia, atau tidak cocok dengan makanan dan budaya di sana. Hal-hal sepele seperti inilah yang secara perlahan merusak ke proses adaptasi pemain ke tim yang tidak lancar.

Besar harapan kita semua bahwa Reinhard dan Marinus dapat sukses berkarir di Apollon Kalamarias. Apabila itu mampu tercapai, kesuksesan mereka disana tentunya akan mengharumkan nama Indonesia serta membuka mata Eropa bahwa bakat-bakat muda anak nusantara layak untuk dilirik.

Antusiasme anak muda lainnya untuk mengikuti jejak mereka pun pasti akan membesar. Alangkah indah rasanya, jika suatu hari saat lagu Liga Champions dikumandangkan di stadion, kita melihat anak bangsa ini berlaga di sana. Semoga!

Penulis: Wahyu Adhi Permana, S.Pd
Guru SMA Regina Pacis Surakarta