Bercocok Tanam di Lahan Gambut Tanpa Membakar

Peneliti Untan Prof Henny Herawati saat melakukan penelitian terhadap lahan gambut
Peneliti Untan Prof Henny Herawati saat melakukan penelitian terhadap lahan gambut

Pontianak, BerkatnewsTV. Di area gambut bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian produktif yang menghasilkan pangan bagi manusia.

Akan tetapi harus dilakukan hati-hati, sebab lahan gambut mudah terbakar jika terjadi kekeringan pada musim kemarau. Untuk itu harus dicari komoditas yang cocok untuk di lahan ini.

Peneliti dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Dr. Henny Herawati, ST, MT, mengatakan ada metode pertanian di lahan gambut, yang masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang budi daya pertanian tanpa melakukan pengolahan lahan dengan membakar lahan di lahan gambut.

“Masyarakat petani yang tinggal di area gambut dalam bercocok tanam, biasanya lebih mudah dan paling murah membuka lahan dengan cara membakar agar tanah menjadi subur. Untuk meningkatkan kesuburan tanah gambut ini bisa menggunakan abu atau disebut biochar yang dapat menetralkan sifat asam di tanah gambut. Dengan adanya abu ini, kemampuannya dapat meningkatkan pH tanah atau dapat mengurangi sifat asam di tanah gambut, sehingga tanaman menjadi subur,” ujarnya, Minggu (24/10).

Prof Henny begitu panggilan akrab Dosen Tenik Untan Pontianak yang memiliki Kosentrasi Bidang Ilmu Teknik Sumber Daya Air, mengatakan jika di area gambut ini sering dilakukan pembakaran, akan terjadi kerusakan lingkungan, padahal bertani di lahan gambut ini sangat subur.

“Sesungguhnya unsur haranya gambut itu kaya dan subur, coba kita bayangkan di lahan gambut ini, ada tanaman seperti pakis tumbuh subur padahal tidak ditanam. Kalau area gambut ini dibakar terus, tanaman suburnya sebentar, akan tetapi jangka panjangnya, unsur yang bisa menyuburkan tanaman akan hilang,” ungkapnya.

Untuk itu Prof Henny, mengungkapkan ada teknologi pertanian di lahan gambut ini, tanpa harus membakar.

“Pertanian dengan pengolahan lahan tanpa bakar ini sesungguhnya, bertani tanpa membakar lahan, yakni dengan menyiapkan drum pembakaran untuk membakar sisa-sisa akar pohon atau limbah pertanian untuk menghasilkan biochar yang dibutuhkan tanah dengan menetralkan sifat asam pada tanah gambut ini, sehingga tanaman tumbuh subur,” ujarnya.

Selain itu, kata Prof Henny, yang juga alumni Teknik Sipil Untan ini, ada cara lain lagi agar tanaman di lahan gambut ini bisa subur, yakni dengan cara penggunaan decomposer.

“Jadi tanah itu diolah dengan inovasi dalam teknologi decomposer, dengan bahan yang ada di sekitarnya, salah satunya yaitu lumpur laut, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah, karena pada prinsipnya bahwa tanah gambut ini subur, hanya karena sifatnya saja yang asam, sehingga dengan cara penggunaan decomposer ini juga bisa menghilangkan sifat asam ini atau sifat tanah menjadi netral. Jika cara-cara ini bisa dilakukan, yaitu pengolahan lahan tanpa membakar, lahan gambut dapat ditanami dengan subur, dan sekaligus menjaga lingkungan,” ucapnya.

Ia menambahkan kegiatan pembuatan biochar dengan menggunakan drum pembakaran pernah dilakukan di Desa Wajok Hilir, Kabupaten Mempawah bersama masyarakat dan Tim Pelaksana Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak yang dilaksanakan dengan dana hibah dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Riset, Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional pada Skim Pengembangan Desa Mitra (PPDM), dalam rangka mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan membuat demplot atau kebun percontohan tanaman di lahan tanpa bakar.

Baca Juga:

“Kegiatan kita di Desa Wajok Hilir ini bertujuan agar masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang bercocok tanam, tanpa melakukan pengolahan lahan dengan membakar di lahan gambut. Untuk demplot pertanian sebelum dilakukan praktik, terlebih dahulu dilakukan pelatihan dan penyuluhan. Dari kegiatan ini diharapkan di masa yang akan datang lahan gambut dapat lebih produktif dan tetap terjaga kualitasnya,” harap Prof Henny, yang menyelesaikan gelar S2-nya di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Selain ada keuntungan bercocok tanam di lahan gambut ini, juga menjaga ekosistem di area tersebut.

“Kita menilai keuntungan tidak hanya diukur dari hasil panen, akan tetapi dari ekosistem juga sangat besar, karena lahan gambut ini harus dijaga kelembabannya, masyarakat yang tinggal dan bercocok tanam di are tersebut, lingkungnya harus tetap terjaga dengan baik dan menjadi lahan yang produktif, kemudian keuntungan dari ekosistem, karbon oksigen yang berproduksi, habitat-habitan lainnya yang di tempat lahan kering tidak ada. Jika ini bisa dijaga, menjadikan suatu nilai yang tidak bisa diukur dengan materi ” ujarnya.

Prof Henny juga mengungkapkan pada tahun 2017, ketika dirinya baru saja menyelesaikan S3 di Universitas Diponegoro, yang juga pada waktu itu bertepatan dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) juga mulai laksanakan programnya pada lahan gambut.

“Saya sempat juga terlibat dalam kegiatan Badan Restorasi Gambut tahun 2017, kegiatannya adalah untuk pembuatan sekat kanal, dahulu kita membuka lahan dengan membuat saluran-saluran, bahkan ada dengan ukuran yang besar. Ternyata saluran ini setelah dibuka, dapat mengeluarkan air, sehingga air tanah akan mengering di lahan tersebut walaupun di musim hujan, dan tinggi muka air tanah ini semakin mengering pada musim kemarau, yang menyebabkan lahan gambut mudah terbakar di bagian atasnya,” jelasnya.

Prof Henny melanjutkan, dalam salah satu kegiatan Restorasi Gambut tersebut membuat sekat kanal, yang berfungsi untuk menahan lajunya air yang keluar.

“Pada musim kemarau sekat kanal ini bisa difungsikan, untuk menjaga tinggi muka air tanah sehingga terjaga kelembabannya dan menjaga lingkungan di area lahan gambut ini,” ujarnya.

Tantangan di daerah Kalbar ini adalah memiliki wilayah yang cukup luas, untuk itu Prof Henny, memberikan saran kepada Pemerintah Daerah, memulai untuk menggiatkan upaya-upaya kemasyarakatan atau pembangunan partisipatif.

“Masyarakat dibuat pintar, untuk diberikan pendidikan supaya mereka bisa membangun secara partisipatif agar mampu menjaga dirinya sendiri dan bisa meningkatkan kesejahteraannya, tanpa harus selalu menunggu dan berharap bantuan dari pemerintah,” ujarnya.

Untuk itu menurut Prof Henny, kedepannya adanya sinergi semua elemen masyarakat dan pemerintah daerah.

“Kita berharap bersinergi antara dunia pendidikan, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, untuk memberi pembelajaran kepada masyarakat, seperti penyediaan air bersih, kemudian di bidang pertanian, seperti yang pernah kita lakukan di Desa Wajok Hilir pada tahun 2020 dengan melakukan sosialisasi menggunakan drum pembakaran melalui metode pembakaran minim oksigen dari sisa sampah atau limbah yang bisa dibakar untuk menghasilkan biochar, dan mitra PKM kita ini memanfaatkan pekarangan rumah dengan menyediakan polibag untuk menanam cabe, dan hasilnya sangat baik,” ujarnya.(rls)