Pontianak, BerkatnewsTV. Hidangan menu makanan saprahan tersaji di atas lantai beralaskan permadani di Gedung Pontianak Convention Center (PCC). Sebanyak 30 kelompok peserta dari kader PKK se-Kota Pontianak menampilkan hidangan saprahan dalam Lomba Inovasi Saprahan dalam rangka Hari Jadi Kota Pontianak ke-248, Kamis (17/10).
Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menjelaskan, saprahan merupakan satu diantara yang telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda. Termasuk pula Arakan Pengantin, paceri nanas, meriam karbit dan lainnya. Ia berharap Pontianak menjadi salah satu kota budaya yang harus terus ditingkatkan inovasi dan kreativitasnya.
“Saya berharap dengan lomba inovasi saprahan ini memberikan nilai edukatif bagi generasi muda untuk terus kita pertahankan budaya ini,” ujarnya.
Saat ini, lanjutnya, banyak juga rumah makan dan restoran yang menghidangkan makan saprahan. Edi menekankan, intinya, bagaimana pada saat makan bersama itu memiliki nilai atau filosofi dan kearifan lokal yang memberikan nilai positif bagi semua.
“Mudah-mudahan melalui kegiatan ini bisa menumbuhkembangkan ekonomi kreatif dan pertumbuhan ekonomi, baik dari sisi kuliner, fashion dan kreativitasnya,” ungkap dia.
Menurutnya, makan saprahan diselenggarakan untuk menerima tamu, sebagai penghormatan kepada tamu, acara pernikahan dan sebagainya. Makan saprahan bersama dengan duduk bersila menjadikan silaturahmi semakin akrab. “Inilah budaya Melayu yang patut kita pertahankan dan lestarikan,” sebut Edi.
Wakil Gubernur Kalbar, Ria Norsan mengapresiasi digelarnya Lomba Inovasi Saprahan sebagai upaya pelestarian budaya. Ia menyebut, ada banyak makna filosofi yang terkandung dalam saprahan. Diantaranya untuk mempererat tali silaturahmi dan tidak ada perbedaan status sosial dalam saprahan.
“Semuanya sama, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,” ucapnya.
Sebagai budaya nenek moyang, saprahan perlu dibudayakan. Apalagi sejak ditetapkannya saprahan sebagai warisan budaya tak benda dan budaya kearifan lokal yang dimiliki. Adanya penetrasi budaya modern masuk ke Indonesia, kata dia, tidak menutup kemungkinan budaya-budaya kearifan lokal akan tergerus apabila tidak dilestarikan.
“Kalau bukan kita yang melestarikannya, siapa lagi. Saya kuatir, kalau ini tidak dilestarikan, takutnya anak cucu kita nanti tidak tahu bagaimana budaya saprahan itu. Setidak-tidaknya kita lakukan di rumah kita sendiri,” terangnya.(jim)