MK Batalkan Potongan Masa Jabatan Kepala Daerah Hasil Pilkada 2018

Ketua Mahkamah Konstituti Suhartoyo saat membacakan putusan pembatalan potongan masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2018 pada Kamis (21/12)
Ketua Mahkamah Konstituti Suhartoyo saat membacakan putusan pembatalan potongan masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2018 pada Kamis (21/12). Foto: ist/tmB

Jakarta, BerkatnewsTV. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan potongan masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2018 seperti yang diamanatkan dalam UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016.

Ketua Mahkamah Konstitusi RI Suhartoyo saat membacakan putusan pada Kamis (21/12) menyatakan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang semula menyatakan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Sehingga, norma Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu selengkapnya menjadi menyatakan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.

Serta Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.

Keputusan MK pembatalan potongan masa jabatan kepala daerah ini mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh tujuh kepala daerah yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.

Mereka didampingi oleh Febri Diansyah, Rasamala Aritonang, dan Donal Fariz dari kantor Visi Office.

Para kepala daerah tersebut mempersoalkan Pasal 201 Ayat (5) UU No 10/2016 tentang Pilkada yang menimbulkan dua dampak berbeda terhadap 171 kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan 2018.

Baca Juga:

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI Saldi Isra menjelaskan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara khusus dan norma transisi dalam ketentuan Pasal 201 UU Pilkada secara keseluruhan masih menyisakan persoalan bagi kepada daerah/wakil kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan 2018,

Namun baru dilantik pada 2019 karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada tahun tersebut. Padahal, sambung Saldi yang dikutip dari siaran resmi website MK menilai Pasal 201 ayat (4) UU Pilkada secara eksplisit menyatakan adanya kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2019 tidak diatur secara tersendiri dalam kaitannya dengan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada.

Akibatnya, kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru diantik pada 2019 seperti dipaksa mengikuti masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang dilantik pada 2018.

“Padahal mereka (kepala daerah yang dilantik pada 2019) dilantik karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada 2019,” tegasnya.

Sehingga Mahkamah melihat ada kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon berupa pemotongan masa jabatannya yang bukan disebabkan oleh implementasi norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, melainkan akibat kekosongan norma yang mengatur Pasal 201 ayat (5) dengan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih pada 2018 dan baru dilantik pada 2019 karena menunggu berakhirnya masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah sebelumnya.

Menurut Mahkamah, sambung Saldi, dalil para Pemohon terkait dengan ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dapat dibenarkan.

Namun sepanjang berkenaan dengan perhitungan masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati hari pemungutan suara serentak nasional 2024 sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya, tidak dapat dipenuhi Mahkamah.

“Sebab, dibutuhkan waktu yang cukup untuk menunjuk pejabat kepala daerah agar tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang berdasarkan penalaran yang wajar dan dipandang cukup yakni satu bulan sebelum hari H pemungutan suara serentak secara nasional yang diberlakukan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 5 tahun sejak pelantikan,” jelas Saldi.(tmB)