Description

Apkasindo Duga Ada Upaya Pengaburan Harga TBS Hingga Anjlok

Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang didapat Kalbar di tahun 2024 hanya Rp276 miliar. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2023 yang berjumlah Rp310 miliar
Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang didapat Kalbar di tahun 2024 hanya Rp276 miliar. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2023 yang berjumlah Rp310 miliar. Foto: dok berkatnewstv

Sanggau, BerkatnewsTV. Asosiasi Kelapa Sawit Seluruh Indonesia (Apkasindo) menduga ada upaya dilakukan pihak tertentu untuk melakukan pengaburan harga Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit hingga anjlok.

Perbedaan yang menyolok antara harga lokal, harga yang ditetapkan pemerintah dan pasaran dunia menjadi semakin menguatkan dugaan tersebut.

Kendati Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menghapus Pungutan Ekspor (PE) sampai batas waktu yang ditentukan oleh Pemerintah, namun anjloknya harga TBS petani tidak semata-mata dikarenakan PE.

“Tapi ada beberapa faktor lagi yang justru lebih menekan terutama patokan harga CPO Indonesia.” kata Sekretaris Apkasindo Kabupaten Sanggau, Mahathir Muhammad usai audiensi dengan DPRD Sanggau, Senin (18/7).

Penghapusan PE ini, kata mahathir, merupakan salah satu buah dari perjalanan Panjang (rally apkasindo), dari pertemuan di Batam dengan Ketua Dewan Pembinaan DPP Apkasindo, Moeldoko, dan Kementerian/instansi pemerintah terkait lainnya.

Mahathir menjelaskan Domestic Market Obligation (DMO) yang mana setiap produsen sawit wajib memenuhi stok dalam negeri sebesar ketentuan pemerintah 1:7.

Sedangkan Domestic Price Obligation (DPO) adalah harga dari DMO sesuai kebijakan pemerintah Rp10.700/kg. Flush Out (FO) adalah program percepatan eksport CPO dan turunannya, dimana jika FO ($200) adalah pilihan jika tidak memenuhi DMO dan DPO.

Bea Keluar (BK) adalah pajak yang disetor ke kas negara $288 dan PE adalah pungutan yang dikenakan atas CPO dan turunan CPO tujuan ekspor $200/ton.

Baca Juga:

“Pungutan ini dilakukan oleh BPDPKS dan bukan merupakan pendapatan untuk kas negara,” ungkapnya.

DMO dan DPO itu adalah sepaket dalam operasionalnya, dengan prinsip untuk memastikan kecukupan CPO dalam negeri untuk keperluan terkhusus Minyak Goreng Sawit (MGS) untuk rakyat.

Perlu diketahui bahwa bahwa stok CPO Indonesia per awal Juli setelah dikurangi konsumsi domestic sebanyak 10,9 juta ton.

“Normalnya stok dalam negeri 3-4 juta ton/bulan, berarti sudah 300 persen diatas normal. Sesuai filosofinya, seharusnya regulasi DMO dan DPO otomatis sudah tidak perlu lagi, apalagi harga CPO dalam negeri saat ini malah jauh dibawah DPO. Namun faktanya DMO dan DPO meskipun sudah tidak berlaku lagi, selalu masuk dalam faktor pengurang harga CPO saat tender di KPBN,” jelasnya.

Untuk FO, lanjut Mahathir, menurut regulasi PMK 102/2022, FO berlaku sampai akhir Juni 2022 setelah itu tidak ada lagi FO. Jadi bulan Juli (1-31 Juli) adalah pelaksanaan ekspor bagi yang sudah mengambil jalur FO.

Namun faktanya sama dengan DMO dan DPO, masih tetap FO digunakan sebagai faktor pengurang harga CPO di KPBN sampai dengan 15 Juli lalu dan gawatnya harga KPBN ini menjadi rujukan harga.

“TBS petani sesuai Permentan 01/2018 tentu wajar saja harga TBS petani semakin anjlok,” ucapnya.

Mahathir menjelaskan, dalam hal harga CPO Indonesia ada 3 patokan yang menjadi rujukan. Pertama harga referensi Kementerian Perdagangan, kedua harga Roterdam dan ketiga harga tender KPBN.

Simulasi dari ketiga opsi tersebut adalah pertama, jika harga TBS Petani berpatokan ke harga referensi Kementerian Perdagangan $1.615 (harga referensi Kemendag bulan Juli).

Jika dikurang ke beban-beban (FO dan BK = $488/ton CPO) maka harga CPO Indonesia adalah Rp16.900 dan harga TBS petani Rp3.380/kg. Sebelum penghapusan PE harga TBS petani harusnya Rp2.750.

“Kedua jika harga TBS petani berpatokan ke harga CPO Roterdam per tanggal 13 Juli lalu 1.205/ton dikurang beban-beban $488 (FO+BK) $717, yang artinya harga CPO Indonesia menjadi Rp10.755/kg yang jika dikonversikan ke harga TBS kami petani berarti Rp2.150/kg. Sementara harga TBS sebelum PE dihapus adalah Rp1.500/kg,” terangnya.

Mahathir mengungkapkan, bahwa pengapusan PE telah mendongkrak harga CPO domestik sebesar Rp3.000/kg. Jika harga CPO versi KPBN Rp8.000/kg dan dihitung dampak penghapusan PE $200 maka harga CPO akan menjadi Rp11.000/kg.

“Artinya harga TBS petani minimum jatuh diharga Rp2.200/kg. Harga TBS petani sebelum PE di nol kan seharusnya Rp1.600/kg,” imbuhnya.

Sehingga dengan tidak berlakunya DMO, DPO dan FO, jika merujuk ke harga referensi Kemendag, seharusnya harga TBS petani per tanggal 1 Juli – 16 Juli sudah Rp3.380/kg (nilai tukar $15.000).

Dan Per tanggal 18 Juli, sejak berlakunya Permenkeu Nomor 115/2022, harga TBS petani berada diangka Rp3.980/kg. Pun demikian harga TBS Petani sawit Indonesia masih dibawah harga TBS petani Malaysia.

“Dengan jauhnya selisih harga jika patokan rujukannya adalah harga referensi Kemendag sebagaimana diatur dalam Permendag No.55/2015, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini sudah terjadi kesengajaan mengaburkan dasar rujukan harga CPO Indonesia. Pengaburan ini diumulai dari Permentan 01/2018 yang mewajibkan harga rujukan TBS petani adalah harga KPBN,” bebernya.

Diakuinya, Kementerian Keuangan selama ini tidak menggunakan harga tender KPBN saat menetapkan besaran BK dan PE tapi kenapa petani disuruh memakai harga KPBN sebagai rujukan harga TBS sebagaimana tertuang dalam Permentan 2018.

“Anehkan jawabannya supaya harga TBS kami dapat dibeli murah,” ucapnya.

Dia mempertanyakan, apa yang seharusnya jadi patokan harga CPO Indonesia harga Referensi Kemendag sesuai Permendag Nomor 55/2015 kah atau harga Roterdam atau harga hasil Tender KPBN.

“Sebagai negara hukum dan negara terbesar penghasil CPO maka semuanya harus patuh kepada Permendag yang sudah menghasilkan harga referensi. Jadi jangan lagi tergantung apa tujuannya,” jelas dia.

“Harga Referensi Permendag tersebut sudah cukup adil, karena sudah mengakomodir 20 persen harga dari Roterdam, 20 persen harga bursa Malaysia dan 60 persen harga bursa Indonesia. Jadi cukup mewakili,” pungkasnya.

Untuk mencapai tujuan pemerataan harga TBS, Maharir menyarakan pemerintah pusat segera membentuk Badan Sawit Indonesia (BADASI) yang kedudukannya langsung dibawah Presiden.

“Semua regulasi terkait sawit, termasuk ketersediaan dan keterjangkauan MGS untuk rakyat, harus diputuskan oleh badan ini dengan konsep satu pintu, satu jendela dan satu data,” pungkasnya. (pek)