Pontianak, BerkatnewsTV. Polemik pemberhentian Suharso dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD Kubu Raya mengundang perhatian dari para akademisi di Kalbar.
Betapa tidak, kasus ini cukup menarik dikupas lantaran banyaknya perbedaan persepsi dalam membaca, mencerna dan menjabarkan PP Nomor 12 Tahun 2018 yang menjadi acuan DPRD Kubu Raya menggelar rapat paripurna dengan agenda pemberhentian Wakil Ketua DPRD Kubu Raya, Selasa (29/6) lalu.
Sayangnya, kasus ini juga ternyata dimanfaatkan oleh para pemain politik untuk mencari keuntungan pribadi. Bahkan, diantaranya berupaya keras menggolkan gugatan Golkar agar bisa diikuti jejaknya untuk menjatuhkan lawan politik.
Padahal menurut Dosen Hukum Tata Negara, Hukum Acara PTUN, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di FH Universitas Muhamdiyah Pontianak AS Nazar polemik ini dapat terselesaikan jika PP Nomor 12 tahun 2018 tersebut dipahami secara tuntas dan menyeluruh.
“Polemik itu seharusnya tidak lah rumit selama memahami mekanisme, dengan memahami maka persoalan ini tidak menjadi sulit,” tuturnya, Jumat (9/7).
Untuk menyikapi kemelut itu, menurut Nazar mekanismenya dikembalikan secara proposional sesuai dengan aturan yang berlaku di DPRD Kubu Raya.
DPRD dalam melaksanakan tugas, wewenang dan hak-haknya mempunyai aturan yang ditetapkan DPRD sendiri dengan berpedoman pada PP Nomor 12 tahun 2018.
“Sebab tatib merupakan perintah dari UU, maka DPRD Kubu Raya telah membuat dan memiliki Peraturan DPRD Kubu Raya Nomor 1 Tahun 2019 yang telah disetujui seluruh fraksi yang ada dan mengikat. Sehingga Tatib menjadi acuan aturan menyangkut kedewanan,” jelasnya.
Usulan pergantian unsur pimpinan DPRD Kubu Raya dari Partai Golkar memang merupakan mekanisme internal partai. Namun apakah “usulan pemberhentian atau pergantian” dapat dengan sendirinya diberlakukan di DPRD Kubu Raya ?
Dijelaskan Nazar persoalan pemberhentian dan penggantian unsur pimpinan DPRD merupakan dua konteks yang berbeda, sebagaimana kesalahan yang terjadi pemberitaan di beberapa media.
Baca Juga:
Pemberhentian Pimpinan DRPD diatur dalam Pasal 37 Peraturan DPRD Kubu Raya Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib DPRD Kubu Raya.
Ayat (1) yang didahului adanya laporan usulan pemberhentian Pimpinan DPRD dalam rapat paripurna oleh Pimpinan DPRD lainnya, kemudian Pemberhentian Pimpinan DPRD ditetapkan dalam rapat paripurna (ayat 2) karena Pemberhetian Pimpinan DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD (ayat 3),
“Jika Pasal 37 Tatib DPRD tidak dilaksanakan, maka Pasal 39 ayat (1) Penggantian Pimpinan DPRD tidak dapat dilaksanakan,” terangnya.
Dengan kata lain harus dilakukan pemberhentian terlebih dahulu baru dapat dilakukan penggantian.
Sementara dari pemberitaan yang berkembang menggambarkan penggantian dapat dilakukan serta merta tanpa ada proses pemberhentian.
“Menurut hemat saya, DPRD Kubu Raya sudah tepat dan benar melaksanakan Pasal 37 Tatib terlebih dahulu. Adalah salah dan melawan hukum jika DPRD Kubu Raya langsung menerapkan Pasal 39 Tatib. Karena pemberhentian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 37 harus dilakukan dalam rapat paripurna yang merupakan forum rapat tertinggi anggota DPRD yang dipimpin oleh Ketua atau wakil ketua DPRD (Pasal 89 ayat 2 Tatib),” jelasnya.
Rapat Paripurna sebagai forum rapat tertinggi anggota DPRD, dilaksanakan dengan memenuhi kuorum yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Anggota DPRD untuk memberhentikan Pimpinan DPRD.
Dan keputusan Rapat Paripurna dianggap sah (Pasal 97 Ayat 2 huruf b ) apabila disetujui oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota DPRD yang hadir,
Untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pasal 98 Tatib, keputusan rapat DPRD, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
“Dengan demikian dalam pelaksanaan Rapat Paripurna oleh DPRD Kubu Raya yang membahas usulan pergantian unsur pimpinan dari DPD Partai Golkar merupakan mekanisme yang sah sesuai dengan Tatib dan PP Nomor 12 Tahun 2018,” tambah Nazar.
Untuk itu menurut Nazar yang juga Sekretaris Peradi Kota Pontianak ini, seharusnya polemik menyangkut penggatian unsur Pimpinan DPRD Kubu Raya, diselesaikan secara hukum namun pihak yang tidak setuju dan tidak sependapat dengan mekanisme yang berlaku dan diatur oleh Tatib dan PP No. 12 Tahun 2018 tersebut dapat melakukan upaya hukum.
“Termasuk Jucial Review ke Mahkamah Agung terhadap PP Nomor 12 Tahun 2018 dan Peraturan DPRD Kubu Raya Nomor 1 Tahun 2019, sebagai win win solution. Partai memfasiliasi penyelesaian secara internal antar calon pengganti dan yang diganti, agar tidak terjadi konflik internal merambah ke lembaga legislatif,” Nazar menyarankan.(tmB)