Sanggau, BerkatnewsTV. Kementerian Perhubungan telah membangun Terminal Barang Internasional (TBI) di Entikong Kabupaten Sanggau. Namun, alokasi anggaran pembebasan lahan untuk pembangunan TBI Entikong sebesar Rp8,3 miliar diduga adanya praktek korupsi.
Dugaan korupsi ini mencuat ketika adanya gugatan sengketa tanah dari si pemilik sejak tahun lalu yang hanya dibayar Rp30 juta per SPT. Dugaan korupsi ini semakin menguat terungkap di persidangan sengketa lahan TBI Entikong oleh Pengadilan Negeri Sanggau yang menghadirkan sejumlah saksi.
Kuasa hukum pemilik lahan dari Firma Hukum Nusantara, Edward L Tambunan fakta di lapangan terungkap per SPT hanya dibayar Rp30 juta.
Ia sebutkan hanya 3 SPT yang dibebaskan, itu pun ada mark up luas lahan. Seharusnya untuk lahan lokasi TBI Entikong sekarang ini ada 4 SPT yang harus dibebaskan.
“Jadi kita menduga kuat ada praktek mark up luas lahan yang dibebaskan menggunakan uang negara oleh pejabat yang berwenang. Kita tahu anggaran pembebasan lahan untuk TBI Entikong sebesar Rp8,3 miliar,” ujarnya pada Selasa (14/8).
Bahkan tambah Edward kesaksian dari notaris yang membuat akta peralihan hak lahan yang digunakan untuk pembangunan TBI Entikong semakin menguat. Karena kehadirannya menjadi bukti bahwa adanya permasalahan dalam proses administrasi surat-menyurat terkait lahan tersebut.
“Selain itu didalam persidangan telah terbukti, bahwa sudah nyata adanya perbedaan posisi dan ukuran batas lahan yang di bebaskan, ternyata tidak pernah dilakukan verifikasi maupun revisi oleh notaris tersebut,” jelasnya.
Dikatakanya lagi bahwa, didalam akta yang dibuat notaris tersebut, terdapat pasal nomor 10 yang menjelaskan bahwa bilamana akta itu benar notaris tidak perlu dilibatkan dalam perkara ini.
“Jelas notaris mengingkari pasal Nomor 10 yang dibuatnya tersebut. Dengan dia hadir tentu membuktikan bahwa penetapan akta tersebut memiliki masalah dan jelas akta yang dibuatnya tidak lah benar,” terangnya.
Baca Juga:
- Penlok Pembebasan Lahan Disetujui, PJN: Anggaran Sedang Direvisi
- Uang Pembebasan Lahan Belum Dibayar, Warga Entikong Kirim Surat ke Jokowi
Sementara itu, Darsono (70) pengelola lahan pertama mengungkapkan dirinya dulu bersama 20 orang dalam kelompok Tani Tunas Mekar telah menggarap lahan itu untuk di kelola menjadi kebun sahang.
“Satu hektar lahan ini dulu ada sekitar 1500 tanaman lada yang kami garap secara gotong royong sekitar 20 orang,” ungkapnya.
“Dulu kami tanam sahang (lada) ramai-ramai, tanah itu kami kelola mulai tahun 1981 diberikan pemerintah seluas satu hektare tak boleh lebih untuk satu kelompok tani. Karena kami belum ada uang, maka saat itu belum mampu buat sertifikat, makanya surat-suratnya hanya berupa Surat keterangan Tanah (SKT),” tambahnya.
Ia juga menuturkan karena tak mampu mengurus berkas menjadi sertifikat. Karena meskipun lada itu sudah sempat panen, tapi harga lada saat itu sangat murah yakni sekitar satu ringgit lebih.
“Dulu harga lada murah, kami jualnya ke Tebedu Malaysia, cuma sekitar 1 RM lebih, karena kalau Tebedu lebih dekat pupuk boleh utang, kalau di Sanggau tak bisa hutang dan jauh,” tuturnya didampingi petani lada lain Antonius Ja’in (61).
Terkait pembangunan Terminal Barang internasional (TBI) Entikong, Darsono mengaku dirinya dan warga lain tak pernah diberitahu dan dilibatkan oleh Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan RI.
Seperti diketahui ternyata pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong menyisakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Yakni pemilik lahan menggugat lahan sekitar 1700 M2 yang berada di kawasan Pintu Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong. Namun pembebasan lahan untuk pembangunan TBI Entikong sebesar Rp8,3 miliar ini diduga adanya praktek korupsi.(rob)