Pontianak, BerkatnewsTV. Setelah menjalani hukuman 12 tahun, terpidana Akil Mochtar diusulkan untuk mendapat amnesti dari negara.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu divonis penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada tanggal 30 Juni 2014 lantaran terbukti menerima gratifikasi pilkada.
Putra Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat kelahiran 18 Oktober 1960 ini telah pisah dengan keluarga sejak kelas 2 SMP, untuk mendapatkan pendidikan lebih baik di Pontianak.
Jauh dari keluarga, Akil Mochtar terbiasa hidup mandiri. berinteraksi dengan orang dan komunitas.
Lulus sekolah, Akil masuk Fakultas Hukum Panca Bhakti (UPB) di Pontianak. Ketika jadi pengacara, bersama Tamsil Sjoekoer dan Alamuddin, Akil membela Lingah, Pacah dan Sumir, orang Dayak Ketapang pada 1992.
Ketiganya dihukum atas perbuatan yang tak pernah mereka lakukan. Yaitu, membunuh Pamor, ayah angkat Lingah.
Kasus Peninjauan Kembali (PK) tersebut, menjadi kasus nasional dan perhatian banyak pihak. Akhirnya, Lingah, Pacah dan Sumir bebas, meski ketiganya sudah menjalani hukuman kurungan selama 7,5 tahun.
Banyak menangani kasus kerakyatan, membuat nama Akil Mochtar cukup populer. Akil dilirik pengurus Golkar. Selanjutnya, ia masuk politik. Mewakili Partai Golkar, Akil Mochtar terpilih sebagai anggota DPR RI, periode 1999-2004. Tahun 2004-2009, Akil terpilih untuk kedua kalinya. Duduk di Komisi III DPR RI. Suaranya cukup vokal.
Cerdas, berani dan analisis. Sangat baik dalam melihat persoalan. Hal itu membuat Akil Mochtar, selalu jadi buruan jurnalis sebagai narasumber. Dari DPR RI, Akil Mochtar menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi, 2009-2013. Periode kedua, 2013-2016, Akil Mochtar terpilih sebagai Ketua MK.
Akil tersandung kasus gratifikasi dan korupsi. Dia divonis menerima uang, dari beberapa peserta sengketa terkait Pilkada. Dia divonis hukuman seumur hidup. Kini, sudah 12 tahun, ia jalani itu.
Amnesti dan Nilai Kemanusiaan
Dalam hukum, amnesti sering dipahami kaku. Ia dicatat sebagai kewenangan Presiden bersama DPR, tertulis rapi dalam konstitusi.
Namun dalam kehidupan sosial, amnesti menjelma sesuatu lebih luas. Ia menjadi bahasa terakhir, saat hukum positif terasa dingin. Saat pasal tidak lagi mampu, menjangkau rasa adil manusia.
Akil Mochtar telah menjalani hukuman panjang. Waktu 12 tahun, bukan angka kecil.
Waktu sepanjang itu mengubah tubuh, pikiran, serta jarak manusia dengan dunia luar. Dalam dokumen resmi, tercatat fakta penting.
Tidak ada denda. Tidak ada uang pengganti. Tidak ada kerugian keuangan negara. Fakta ini berdiri telanjang, menunggu negara menafsirkan maknanya.
Hukum pidana lahir bukan demi penderitaan semata. Ia dibangun atas tujuan pembalasan, pencegahan, perbaikan.
Saat salah satu tujuan telah tercapai, hukum seharusnya berhenti melangkah lebih jauh. Bila tidak, ia berubah dari alat keadilan menjadi mesin tanpa empati.
Masalah Akil Mochtar menantang nurani hukum nasional. Vonis telah dijalani. Kekuasaan publik telah runtuh.
Nama telah tercatat dalam sejarah kelam peradilan. Dalam konteks ini, pertanyaan penting muncul.
Apakah pidana lanjutan masih memberi manfaat sosial? Atau, sekadar mempertahankan simbol ketegasan negara?
Negara hukum dewasa tidak diukur dari lamanya hukuman. Melainkan dari kemampuannya menilai, kapan hukuman cukup. Tanpa evaluasi semacam ini, sistem pidana berisiko kehilangan ruh keadilan.
Dukungan Mengalir Deras
Dukungan terhadap amnesti Akil Mochtar mengalir lintas lapisan. Kesultanan Melayu berdiri sejajar dengan organisasi mahasiswa. Ulama duduk berdampingan dengan petani. Akademisi sejalan bersama pemuda. Ini bukan koalisi politik. Ini potret sosiologis.
Dalam tradisi Melayu, kesalahan diakui, hukuman dijalani, martabat manusia tetap dijaga. Nilai ini hidup jauh sebelum negara modern hadir.
Ketika Kesultanan menyuarakan amnesti, mereka tidak sedang membela kejahatan. Mereka sedang menjaga keseimbangan, antara hukuman serta kemanusiaan.
Fenomena dukungan luas ini, jarang muncul dalam perkara korupsi. Fakta tersebut memberi sinyal kuat. Publik tidak menolak hukum. Publik menolak ketidakproporsionalan.
Baca Juga:
Keadilan restoratif hadir sebagai koreksi atas hukum retributif. Ia bertanya tentang pemulihan, bukan pembalasan.
Dalam usulan amnesti, narasi restoratif terasa dominan. Akil Mochtar dipandang sebagai individu pernah berkontribusi. Lalu jatuh, dan menjalani konsekuensi berat.
Restorasi tidak menghapus kesalahan. Restorasi menempatkan kesalahan dalam bingkai penyembuhan sosial.
Negara tidak kehilangan wibawa saat memaafkan. Negara justru menunjukkan kekuatan moral.
Dalam banyak negara maju, mekanisme serupa digunakan untuk mengakhiri hukuman, saat risiko sosial telah hilang. Indonesia belum terbiasa dengan pendekatan ini. Namun, keberanian memulai, selalu lahir dari kasus sulit.
Suara Generasi Muda
Mahasiswa Kalimantan Barat ikut bersuara. Mereka membaca kasus ini tanpa romantisme. Kesalahan diakui. Hukuman dihormati. Namun, mereka menuntut rasionalitas pidana.
Bagi generasi muda, negara adil bukan negara paling keras. Negara adil ialah negara konsisten, transparan, serta manusiawi. Amnesti dipahami sebagai instrumen koreksi, bukan hadiah politik.
Suara muda ini penting. Mereka calon pewaris republik. Ketika keadilan terasa timpang, kepercayaan ikut runtuh.
Konstitusi memberi Presiden hak amnesti. Hak ini bukan formalitas. Ia lahir dari kesadaran para pendiri bangsa, tentang keterbatasan hukum tertulis.
Dalam perkara Akil Mochtar, Presiden serta DPR RI menghadapi pilihan berat. Menolak berarti konsistensi formal. Mengabulkan berarti keberanian moral. Kedua pilihan membawa konsekuensi sejarah.
Negara besar tidak takut pada kemurahan hati. Negara besar takut kehilangan kepercayaan rakyat.
Amnesti dapat menjadi pesan kuat. Bahwa, hukum Indonesia sanggup bernafas. Sanggup mendengar. Juga sanggup berubah.
Dari tepian Kapuas hingga ruang rapat Istana, kisah ini terus berjalan. Ia bukan sekadar kisah satu orang. Ia cermin kedewasaan hukum bangsa.
Apabila amnesti diberikan, negara menegaskan hukuman telah cukup. Apabila ditolak, negara wajib menjelaskan alasan moral secara terbuka. Keheningan justru menumbuhkan luka baru. Di antara teks Undang-Undang serta denyut nurani, republik sedang diuji. Apakah keadilan akan berhenti pada pasal, atau melangkah menjadi kebijaksanaan.(r)













