Kubu Raya, BerkatnewsTV. Rumah kayu yang nyaris roboh di RT 04 RW 06 Dusun Nurul Huda, Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, menjadi saksi bisu perjuangan lima orang penghuni di dalamnya. Tiga bocah dan dua lanjut usia tinggal bersama di hunian reot tersebut, bertahan di tengah keterbatasan ekonomi, rawannya kondisi rumah, hingga tantangan memenuhi kebutuhan pangan dan jaminan pendidikan.
Setiap hari, kelima penghuni rumah ini hidup dalam kekhawatiran. Bukan hanya soal apakah ada makanan yang cukup di meja, tetapi juga apakah rumah yang lapuk dimakan usia itu masih kuat menahan hujan dan angin. Dinding kayu yang telah menghitam, lantai kayu yang mulai rapuh, dan atap yang bocor seolah menggambarkan beratnya hidup yang mereka jalani.
Ketua RT 04 RW 06 Dusun Nurul Huda, Hermansyah, mengakui bahwa keluarga ini sebelumnya memang kerap mendapat bantuan. Namun, tahun ini belum ada uluran tangan yang datang, termasuk dari pihak yang biasa membantu.
“Kalau tahun ini belum ada bantuan, pun yang biasa memberikan bantuan dari Yayasan Ismul Yahya,” ucap Hermansyah saat diwawancarai BerkatnewsTV, Sabtu (22/11).
Hermansyah menjelaskan, secara administratif keluarga ini juga menghadapi hambatan. Salah satu dari lima penghuni rumah belum memiliki KTP domisili Kubu Raya. Hal ini membuat pengusulan bantuan sosial dari pemerintah menjadi semakin sulit.
“Meskipun uluran tangan berupa bansos bisa saja dilakukan, satu dari kelima keluarga ini belum memiliki KTP domisili Kubu Raya. Karena kakek dari nenek itu kalau kita ingin mencarikan bantuan susah, KK tidak punya. Dan saya sudah menawarkan diri membawa kakek ini ke Dukcapil Kubu Raya tetapi malah tidak mau, alasan belum siap,” tambahnya.
Baca Juga:
Menurut Hermansyah, bantuan dari pemerintah baik tingkat desa maupun kabupaten sangat bergantung pada kelengkapan administrasi kependudukan. Karena itu, ia berharap adanya jemput bola dari instansi terkait.
Ia meminta Dinas Dukcapil Kubu Raya dapat melakukan perekaman e-KTP langsung di kediaman warga tersebut yang tergolong miskin dan rentan, sehingga hak-hak dasar mereka sebagai warga negara bisa segera difasilitasi.
Penghuni rumah reot itu adalah Naspah (70), seorang nenek renta yang kini berjuang di usia senjanya. Sehari-hari Naspah membantu suaminya, Jafar (65), bekerja serabutan jika ada warga yang membutuhkan tenaga mereka, dengan upah seadanya. Dari penghasilan tak menentu itu, mereka membesarkan tiga cucu yang masih bocah, anak dari mendiang anak kandung Naspah.
Luka keluarga ini belum kering. Lima tahun lalu, Roni, ayah dari ketiga bocah tersebut meninggal dunia. Tragisnya, kepergian Roni disusul oleh sang istri, Atik, yang meninggal empat tahun kemudian. Sejak saat itu, Naspah dan Jafar memikul peran ganda: menjadi orang tua sekaligus kakek-nenek bagi cucu-cucunya.
Di tengah dinding rapuh dan atap bocor, tiga bocah ini tumbuh dengan segala keterbatasan. Pendidikan mereka terancam jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak. Sementara itu, kondisi rumah yang kian memprihatinkan juga menjadi ancaman keselamatan fisik mereka, terutama saat hujan deras dan angin kencang melanda.
Hermansyah berharap, kisah keluarga ini bisa mengetuk hati banyak pihak, baik pemerintah, lembaga sosial, maupun para dermawan, untuk bersama-sama membantu meringankan beban mereka. Bukan hanya berupa perbaikan rumah, namun juga kepastian akses pendidikan dan jaminan hidup layak bagi tiga bocah yang masih memiliki masa depan panjang di depan mata.
Di tengah derit kayu tua dan lantai yang nyaris jebol, harapan itu terus mereka genggam: harapan agar suatu hari nanti, rumah reot yang menjadi saksi bisu penderitaan ini berubah menjadi tempat tinggal yang layak, aman, dan penuh tawa bagi lima jiwa yang masih setia berjuang. (dian)













