Pontianak, BerkatnewsTV. Banyak UMKM skala menengah ke bawah yang ingin ikut berpartisipasi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden RI Prabowo Subianto.
Namun, UMKM tersebut terpaksa harus gigit jari dan tak berdaya lantaran disodorkan dengan persyaratan ketat yang telah ditentukan oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Selain administrasi, persyaratan yang tidak bisa diganggu gugat adalah terkait dengan tempat Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) atau dapur yang mesti memiliki ukuran sangat luas yakni minimal 400 m2.
Faktor ini dikarenakan, setiap harinya SPPG harus membuat makanan untuk minimal 3.000 siswa. Wajib memiliki kendaraan box tertutup, diwajibkan memiliki ahli gizi agar setiap sajian MBG harus benar-benar memenuhi standar gizi. Tidak boleh ada kompromi terhadap kualitas makanan karena menyangkut masa depan anak bangsa.
Selain itu pemerintah harus mewajibkan mitra kerja MBG menggunakan bahan pokok lokal seperti beras, sayur, buah, telur dan sumber protein lainnya. Tujuannya jelas agar petani dan peternak lokal merasakan dampak ekonomi langsung dari program ini.
Ketiga, para mitra atau pemilik dapur MBG wajib melayani siswa layaknya memberi makan anak sendiri. Artinya, ada tanggung jawab moral di balik setiap piring yang disajikan.
Sekretaris DPD KNPI Kalbar, Gubrani melihat persyaratan dan ketentuan-ketentuan tersebut sangat baik, artinya SPPG dituntut untuk profesional dan tetap bisa menjaga kualitas.
Akan tetapi dibalik itu semua, realita di lapangan keuntungan besar justru menjadikan MBG ajang rebutan. Satu dapur bisa meraup keuntungan bersih hingga ratusan juta per bulan, membuat banyak pemodal hingga pemangku kepentingan di daerah berlomba-lomba ingin menguasainya.
Baca Juga:
Para pemodal besar ini bersembunyi di balik orang lain, yang seolah-olah adalah UMKM pengelola SPPG. Sementara UMKM yang berskala menengah kebawah tidak bisa ikut berpartisipasi dikarenakan kemampuan modalnya yang tidak mencukupi.
Gubrani mencontohkan untuk menyiapkan dapurnya saja harus merogoh kocek puluhan juta rupiah. Belum lagi untuk penyediaan omprengan dalam jumlah besar. Harga omprengan saja rata-rata berkisar Rp50 – 60 ribu. Jika jumlah yang dibutuhkan sekitar 3.000 x Rp.60.000 = Rp180.000.000. Artinya, untuk modal awal yang harus dikeluarkan minimal rata-rata Rp300.000.000.
“Jelas yang bisa menjalankan program MBG ini hanyalah para pemodal-pemodal besar,” ucapnya.
Gubrani pun menyarankan sebaiknya perlu dikaji ulang yang awalnya satu SPPG atau dapur melayani 3000 – 4000 siswa diubah minimal 1.000 siswa per hari.
“Dengan jumlah yang diturunkan itu maka akan banyak UMKM yang bisa ikut berpartisipasi. Perputaran roda ekonomi akan bergerak lebih cepat. Ditambah lagi akan banyak tenaga kerja yang terserap di setiap kecamatan. Sehingga dapat meningkatkan ekonomi keluarga masyarakat,” tuturnya.
Selain itu, menurut Gubrani dengan jumlah minimal 1.000 itu itu maka akan meminimalisir terjadinya penurunan kualitas makanan seperti makanan basi yang kerap terdengar di sejumlah tempat.
Apalagi lebih parahnya tambah Gubrani, muncul isu permainan menu antara penyedia (SPPI/SPPG), yang menyajikan makanan seadanya, tanpa memperhatikan gizi. Jika hal ini benar terjadi, siswa jelas menjadi pihak yang paling dirugikan.
“Peran Badan Gizi Nasional (BGN) sangat krusial. BGN mesti benar-benar melakukan survey kelayakan dapur mitra sesuai SK Nomor 63 Tahun 2025 tentang Juknis Banper. Jika tidak, program ini rawan disalahgunakan dan jauh dari tujuan awalnya. Program MBG memang penting, tapi publik layak terus mengawalnya agar benar-benar berpihak pada siswa, bukan sekadar menjadi ladang bisnis baru untuk kepentingan para pemodal besar,” pungkasnya.(rob)