Pemilik Kafe Masih Bingung Royalti Musik

Pemilik Kafe Masih Bingung Royalti Musik
Pemilik kafe Wahyudi Wardoyo masih mengaku bingung penerapan royalti musik. Sebab, telah ada larangan kafe-kafe untuk memutar lagu atau musik tanpa seijin pencipta. Foto: egi/berkatnewstv

Pontianak, BerkatnewsTV. Sejumlah pemilik masih mengaku bingung penerapan royalti musik. Sebab, telah ada larangan kafe-kafe untuk memutar lagu atau musik tanpa seijin pencipta.

Apalagi, tarif yang dikenakan mencapai Rp120.000 per kursi jika memutar lagu. Akibatnya, banyak yang beralih menggunakan rekaman suara alam sebagai alternatif. Namun, langkah ini ternyata bukanlah solusi untuk terbebas dari kewajiban membayar.

Salah satu pemilik kafe di Pontianak, Wahyudi Wardoyo larangan ini merujuk pada regulasi terkait hak cipta dan royalti musik yang belum terpenuhi oleh sejumlah pelaku usaha. Musik yang diputar di ruang publik komersial seperti kafe dianggap sebagai bentuk pemanfaatan karya seni yang seharusnya menghargai hak ekonomi pencipta lagu.

“Ada satu peraturan yang memang akan ditegakkan. Tegakkan dalam arti akan diberlakukan dengan sebenar-benarnya. Semuanya jadinya recoh kan,” ungkapnya ditemui berkatnewstv Rabu (6/8).

Ia menilai, keberadaan musik sebenarnya tak terlalu esensial bagi usahanya. Namun menurutnya, pelarangan yang mendadak tanpa pembekalan informasi dan pemahaman kepada para pelaku usaha justru menimbulkan kebingungan.

“Kalau saya sih nggak terbebani ya. Karena saya juga nggak tergantung dengan musik. Tapi ya itu, musik kadang jadi penghibur aja. Harusnya ada sosialisasi. Sampai ke pengusaha-pengusaha. Jangan langsung diberlakukan gitu aja,” ujarnya.

Beberapa pelaku usaha menyoroti kurangnya pemahaman terkait aturan royalti, meskipun pemerintah telah menyediakan akses melalui laman daring.

“Pemerintah udah bagus, udah buat link yang bisa diakses semua. Cuma masyarakat kita itu bukan tipe pembaca. Harus mengalami dulu baru paham. Jadi PR pemerintah tuh, bagaimana cara mensosialisasikan aturan secara menyeluruh,” tambahnya.

Ia menilai tidak semua pelaku usaha memiliki pemahaman hukum yang kuat, dan berharap adanya pendampingan atau setidaknya peringatan sebelum diberlakukan sanksi.

Baca Juga:

“Yang dirugikan itu contohnya kayak yang di Bali. Kita nggak tau aturan apa, tiba-tiba disalahkan. Harusnya ada peringatan dini. Saya yakin nggak akan ada yang mau melanggar kok,” lanjutnya.

Wahyudi juga mengakui bahwa musisi dan pencipta lagu perlu dihargai lewat royalti, namun menegaskan pentingnya mekanisme yang adil.

“Si musisi atau pencipta lagu itu harus mendapatkan haknya. Jangan sampai malah susah mempromosikan lagunya. Karena ujung-ujungnya nggak ada yang mau dengerin lagu berbayar,” tuturnya.

Sebagai pelaku usaha, ia tidak keberatan mematuhi aturan, selama ada kejelasan sejak awal. Menurutnya, seharusnya sejak membuka usaha, pengusaha sudah mendapatkan informasi lengkap mengenai hak dan kewajiban.

“Misalnya saya buka kafe, harusnya saya dikasih tahu, kalau kamu mau putar musik, ini konsekuensinya’. Jadi saya bisa ambil keputusan dari awal,” katanya.

Kebijakan larangan pemutaran musik di tempat usaha mengacu pada:

  • Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
  • Pasal 113 UU Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa penggunaan karya cipta di ruang publik dengan tujuan komersial wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta.
  • Kewenangan ini dijalankan melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), yang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk pengawasan dan pemungutan royalti.

Sementara di sisi lain, banyak pelaku usaha masih belum memahami proses dan ketentuan pembayaran royalti, apalagi teknis pelaporannya.

Pemerintah perlu memperkuat sosialisasi dan komunikasi agar setiap pelaku usaha bisa memahami hak dan kewajiban mereka tanpa merasa dirugikan secara mendadak.

“Sah-sah aja kok ada aturan. Tapi prosesnya itu loh, yang harus bisa dipahami semua orang. Biar nggak kaget atau malah rugi tanpa tahu kesalahannya,” pungkasnya.(ebm)