Kubu Raya, BerkatnewsTV. Bupati Kubu Raya Sujiwo memberikan perhatian khusus terhadap terhadap masyarakat Batu Ampar yang mata pencahariannya sebagai petani arang bakau. Bahkan Sujiwo terang-terangan pasang badan untuk membela masyarakat Batu Ampar yang komoditi arang bakaunya ditangkap dan disita oleh Lantamal waktu lalu.
Tak hanya itu, Sujiwo menyatakan bersedia ditangkap aparat keamanan dengan pembelaannya itu jika tidak ada memberikan solusi untuk masyarakat Batu Ampar.
Sujiwo sebutkan jika memang pekerjaan itu telah salah dan melanggar aturan namun ia tidak ingin masyarakat kehilangan mata pencaharian. Karenanya penghentian dan penangkapan itu harus disertai dengan solusi agar masyarakat tidak kelaparan.
“Sebenarnya pekerjaan masyarakat itu sudah ada sejak dari puluhan tahun jaman dulu. Dan telah menjadi mata pencaharian. Akan tetapi disuruh setop dan berhenti sementara di lain sisi perutnya lapar. Makanya saya bilang kalian terus bekerja. Kalau saya sebagai kepala daerah disuruh memilih, saya mendingan milih langgar aturan tapi rakyat saya bisa hidup,” tegasnya saat deklarasi damai Perkumpulan Merah Putih Kubu Raya, Selasa (22/7).
Sujiwo tidak ingin rakyatnya disuruh mati karena tidak ada solusi. Sehingga ia membela mati-matian masyarakat Batu Ampar untuk terus bekerja arang bakau. “Biarlah saya ditangkap asal rakyat saya tidak mati kelaparan. Harusnya dibuka lagi pasal-pasalnya. Saya setuju jika dihentikan akan tetapi harus juga diiringi dengan solusi,” ucapnya.
Sujiwo pun mencontohkan ketika dirinya mengintruksikan Satpol PP melakukan penertiban PKL – PKL di beberapa kawasan. Ketika ditertibkan, PKL tersebut direlokasi ke pasar-pasar tradisional di Parit Baru. Selain itu juga PKL digratiskan retribusi tanpa dipungut biaya apapun.
“Tugas kami hadir sebagai pemerintah adalah memastikan agar masyarakat bisa makan, tidak kelaparan, tidak mati. Mudah-mudahan Pak Menteri, Pak Presiden bisa mendengarkan ini,” pungkasnya.
Pengelolaan arang bakau yang dilakukan oleh masyarakat di Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya dianggap telah menyalahi regulasi pemerintah.
Apalagi, ketika ada sekitar puluhan ton arang bakau yang telah disita oleh Lantamal lantaran dinilai tidak memiliki Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) maupun izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP Nomor 27 tahun 2025 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Akan tetapi, ternyata arang bakau di Batu Ampar ini telah menjadi mata pencaharian untuk kehidupan ekonomi masyarakat lokal yang telah dilakoni sejak puluhan tahun silam.
Baca Juga:
- Polemik Arang Bakau Batu Ampar, Antara Regulasi dan Mata Pencaharian
- Warga Batu Ampar Demo 68 Ton Arang Bakau Ditahan Lantamal
Wajar saja ketika masyarakat Dusun Teluk Air, Sungai Limau, dan Gunung Keruing melakukan aksi demo di Kantor Desa Batu Ampar memprotes penyitaan arang bakau tersebut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kubu Raya, Dedy Hidayat menuturkan sebelumnya Bupati Kubu Raya Sujiwo telah mengundang pemangku kepentingan yakni DLH Pemprov Kalbar dalam membahas masyarakat petani arang secara kompherensif.
“Artinya kedepan masyarakat petani arang bakau ini kita dorong legalitasnya. Karena di kehutanan itu ada skema kehutanan sosial,” sebutnya di Sui Raya, Kamis (10/7)
Menurut dia di lokasi hutan bakau itu vegitasi ekosistem bakau masih terjaga. Karenanya, pengambilan kayu bakau dilakukan secara tradisional oleh masyarakat petani.
“Yang diambil itu sesuai dengan kebutuhan yang dipakai. Tidak secara besar-besaran,” ungkapnya.
Saat ini, ungkap Dedy pihaknya bersama KPH wilayah Kubu Raya telah memetakan solusi jangka pendek dengan mengedepankan PKS dengan masyarakat pengrajin arang bakau.
Praktisi hukum menilai pada PP nomor 27 tahun 2025 Pasal 25 ayat (2) peraturan ini secara tegas melarang segala bentuk aktivitas yang berpotensi merusak ekosistem mangrove, termasuk penebangan kayu bakau untuk produksi arang.
“Regulasi tersebut cacat dari segi keadilan sosial. Ketika regulasi diberlakukan tanpa mekanisme transisi dan perlindungan sosial, negara justru berpotensi melanggar amanat Pasal 33 UUD 1945 tentang keadilan sosial dan pemerataan ekonomi,” kata Weni Ramadhania S.H., M.H. salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas OSO Pontianak, Kamis (10/7)
Dalam tradisi hukum progresif, kata Weni menegaskan hukum haruslah “hidup” dalam masyarakat. Artinya, hukum tidak semata-mata teks hitam diatas putih, tetapi harus mencerminkan realitas sosial yang ada.
“Ketika regulasi tidak lagi memberi rasa keadilan bagi msyarakat bawah, maka perlu adanya evaluasi dan reformulasi kebijakan. Apalagi masyarakat Batu Ampar bukan pelanggar hukum, tetapi korban dari sistem yang abai terhadap aspek sosial-budaya dan ekonomi lokal,” tegasnya.(rob/dian)