loading=

Soal RUU Penyiaran. KPID Kalbar: Darimana Pembungkaman Persnya

Ketua KPID Kalbar, Dedy Malik, menyatakan tidak ada indikasi pembungkaman terhadap pers dalam revisi UU Penyiaran
Ketua KPID Kalbar, Dedy Malik, menyatakan tidak ada indikasi pembungkaman terhadap pers dalam revisi UU Penyiaran

Pontianak, BerkatnewsTV. Revisi UU Penyiaran telah menimbulkan aksi gelombang protes dari jurnalis di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Kalimantan Barat. KPID Kalbar pun angkat bicara soal revisi UU Penyiaran yang ditolak oleh para jurnalis.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalbar, Dedy Malik, menyatakan tidak ada indikasi pembungkaman terhadap pers dalam revisi UU Penyiaran tersebut.

“Kita lihat dari mana sisi pembungkaman persnya,” ujarnya, Kamis (30/5).

Ia menyatakan jika ada indikasi untuk membungkam pers, pihaknya siap untuk berdiskusi, dengan syarat juga mengundang pakar-pakar yang memiliki kompetensi untuk memberikan pandangan yang benar.

KPID Kalbar berharap soal revisi UU Penyiaran dapat dipahami secara universal oleh teman-teman jurnalis.

Sementara itu puluhan jurnalis yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Kalimantan Barat menyatakan menolak revisi Undang-undang Penyiaran.

Penolakan para jurnalis Kalimantan Barat ini disampaikan lewat aksi demo damai di Bundaran Tugu Digulis Untan Pontianak, Senin (27/5).

Koordinator aksi Yuniar mengatakan, revisi UU penyiaran berpotensi mengancam kemerdekaan pers sehingga draft undang-undang yang bermasalah harus dibatalkan.

“Kami tak mau kemerdekaan dan kebebasan pers dirampas,” tegasnya.

Baca Juga:

DPR RI telah membahas revisi UU Penyiaran tersebut. Beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran diyakini memiliki potensi untuk membatasi kebebasan pers. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 50 B ayat 2 huruf c, yang mengatur larangan terhadap penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.

Pasal tersebut dinilai bisa menimbulkan multi tafsir dan kebingungan. Sebab, selama karya jurnalistik didasarkan pada fakta dan data yang akurat, serta dibuat secara profesional demi kepentingan publik, seharusnya tidak ada larangan untuk menayangkan karya jurnalistik investigasi di televisi.

Selain itu, Pasal 50 B ayat 2 huruf k juga menjadi sorotan karena potensi multitafsir, terutama dalam konteks penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI mengkritisi keambiguan pasal ini yang bisa dimanfaatkan untuk menekan serta mengkriminalisasi jurnalis dan media.

Jelas pasal-pasal tersebut berpotensi tumpang tindih dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menetapkan bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan Dewan Pers.(egi)