Description

Waspada TPPO Bermodus Online Scamming di Perbatasan RI

Para narasumber (dari kiri ke kanan: Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Budi Hermawan Bangun; Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Kementerian kominfo Astrid Rahadia Wijaya; Dirreskrimum Polda Kalbar Kombes Pol Bowo Gede Imantio) pada Forum Literasi Hukum dan HAM Digital bertema “Pencegahan dan Penanganan TPPO Online Scamming” di Pontianak, Selasa (24/10). Foto: tmB
Para narasumber (dari kiri ke kanan: Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Budi Hermawan Bangun; Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Kementerian kominfo Astrid Rahadia Wijaya; Dirreskrimum Polda Kalbar Kombes Pol Bowo Gede Imantio) pada Forum Literasi Hukum dan HAM Digital bertema “Pencegahan dan Penanganan TPPO Online Scamming” di Pontianak, Selasa (24/10). Foto: tmB

Pontianak, BerkatnewsTV. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) bermodus online scamming patut diwaspadai, terutama di daerah yang terletak di kawasan perbatasan RI – Malaysia. SIMFONI PPA mencatat Dalam kurun waktu 2017 – Oktober 2022 tercatat ada 2.356 korban TPPO.

Dan sejak 2021, kasus online scamming yang terindikasi TPPO semakin banyak bermunculan, serta banyak menyerang kalangan yang paham dunia digital.

Kota Pontianak yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat, merupakan daerah perbatasan yang juga perlu dilibatkan dalam pencegahan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap isu TPPO.

Guna menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang TPPO melalui modus online scamming, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyelenggarakan Forum Literasi Hukum dan HAM Digital dengan tema “Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Melalui Online Scamming” di Pontianak, Selasa (24/10).

Plt Direktur Informasi Dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Kemenkominfo yang diwakili oleh Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Astrid Ramadiah Wijaya, menjelaskan bahwa isu TPPO di Indonesia terorganisir dan begitu sistematis.

Terlebih, Astrid menjelaskan bahwa perkara TPPO telah menjadi urgensi yang dibahas dalam pertemuan KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo. Para pemimpin negara sepakat memberantas TPPO dengan meningkatkan kapasitas penegak hukum dan lembaga terkait, serta memberikan bantuan kepada korban. Maka, sosialisasi ke masyarakat dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong partisipasi aktif publik supaya terhindar dari TPPO, khususnya yang bermodus online scamming.

“Kesepakatan itu disusun dalam Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang pemberantasan perdagangan orang akibat penyalahgunaan teknologi. ASEAN menyatakan bakal memperkuat kerja sama dan koordinasi terkait kasus TPPO yang disebabkan penyalahgunaan teknologi. Selain itu, ASEAN akan memperkuat kerja sama di bidang pengelolaan, perbatasan, pencegahan, penyidikan, penegakan hukum dan penindakan, perlindungan, pemulangan, serta dukungan seperti rehabilitasi kepada para korban,” jelas Astrid.

Kepala Sub Direktorat Kelembagaan dan Diplomasi Pelindungan, Direktorat Pelindungan WNI, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Fajar Nuradi, yang hadir selaku narasumber menjelaskan bahwa ada tiga unsur yang menjadi pertimbangan penyidik dalam mengindikasi TPPO.

“Yaitu aktivitas, cara, dan tujuan eksploitasi. Pada undang-undang 21 tahun 2007 di Indonesia, sedikit berbeda dalam mendefinisikan TPPO. Di negara kita, level eksploitasinya diturunkan, jadi hanya dengan tujuan mengeksploitasi korban itu sudah bisa menjerat pelaku TPPO,” jelas Fajar.

Secara umum, TPPO memiliki indikator seperti pemalsuan dokumen, usia, rute perjalanan, kekerasan fisik, trauma psikologis hingga agen yang memberangkatkan. Fajar menyebut online scam adalah modus baru untuk TPPO dan banyak terjadi di wilayah Asia Tenggara, terutama Kamboja dan melibatkan WNI sebagai korban. Dalam kasus-kasus yang ditangani Kemlu, korban online scamming mengalami kerja paksa, tidak mendapat upah layak, dan ditahan sehingga tidak bisa pulang.

“Modus rekrutmennya seperti lewat beberapa pihak secara online via media sosial atau internet, dengan promosi yang menggiurkan. Korban diperdaya menjual produk investasi atau sebagai customer service judi online di negara-negara yang melegalkan judi, e-commerce, atau start-up. Mereka diiming-iming gaji fantastis, persyaratan mudah, namun saat tiba di lokasi mereka dilatih untuk melakukan scamming,” tambah Fajar.

Baca Juga:

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar, Kombes Pol Bowo Gede Imantio, menjelaskan bahwa modus online scamming diawali dengan rekrutmen pekerjaan yang menyasar korban dengan latar belakang melek teknologi dan punya pengetahuan seperti customer service, telemarketing, atau operator judi online.

“Penawaran gaji 600-1.200 USD per bulan tanpa menyebut nama perusahaan. Dan pola keberangkatannya hanya menggunakan paspor untuk administrasi, sebagian tidak dikenakan biaya keberangkatan namun ada juga yang dimintai uang sebesar 5-30 juta rupiah. Sebagian diperangkap dan dililit hutang sehingga tidak bisa pulang, sebelum melunasinya,” jelas Bowo.

Ia juga menambahkan bahwa ketika PMI dipekerjakan, umumnya tidak ada kontrak kerja dan ditempatkan pada gedung dengan pengawasan ketat. Untuk menindaklanjuti perkara TPPO yang terjadi di luar negeri, diperlukan kerja sama dengan penegak hukum setempat. Sehingga, yang bisa ditangani langsung oleh kepolisian adalah yang terjadi di Indonesia, dengan korban dan saksi yang juga berada di tanah air.

“Lima kabupaten di Kalbar berbatasan langsung dengan Malaysia dan terdapat 67 jalur tikus di sepanjang perbatasan. Ditambah tingginya angka pengangguran yakni 129,22 ribu jiwa dan didukung kemudahan akses jalur darat, mempengaruhi peningkatan potensi TPPO di Kalbar,” tambah Bowo.

Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Budi Hermawan Bangun, menyebut bahwa modus online scamming memiliki karakteristik yang berbeda dari perdagangan orang yang dulu umumnya terjadi.

“Yang membedakan adalah faktor-faktornya tidak melulu adalah masalah pendidikan yang rendah. Justru, model perdagangan orang seperti ini malah menyasar yang punya pendidikan dan keahlian tertentu yang melek teknologi dan berusia muda. Mereka akan dipaksa untuk bekerja pada jaringan penipuan online,” jelas Budi.

Forum Literasi Hukum dan HAM Digital berlangsung secara hybrid dan dihadiri oleh lebih dari 350 peserta daring maupun luring. Melalui forum ini diharapkan dapat mendorong kesadaran masyarakat serta meningkatkan partisipasi publik untuk bersama-sama berperan aktif mewaspadai potensi TPPO melalui online scamming.(tmb)