Pontianak, BerkatnewsTV. Kasus KDRT yang dilakukan pengusaha air mineral Top Qua Ali Sahbudin telah bergulir di persidangan Pengadilan Negeri Pontianak, Rabu (8/12).
Agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan saksi korban yakni Lily Susianti, yang notabene mantan istri Ali Sahbudin.
Di hadapan Majelis Hakim, Lily pun mengungkapkan secara gamblang penyiksaan yang dialaminya pada duo 26 Mei 2011 silam.
Penyiksaan itu dilatarbelakangi masalah pelepasan hak sertifikat tanah di Jakarta atas nama keduanya. Modusnya, tanah tersebut ditukar kepada ayah Ali Sahbudin.
“Kami sudah cekcok seminggu sebelum penyiksaan. Saudara terdakwa (Ali Sahbudin) memaksa saya untuk menanda tangani persetujuan pertukaran tanah dengan mertua saya di Jakarta. Tapi saya tidak mau karena alasannya tidak jelas hanya menyatakan mau berbisnis di Jakarta,” ungkap Lily.
Pada tanggal 29 Mei 2011, Lily pun pergi ke Notaris Budi Effendi untuk meminta penjelasan prihal surat yang mau ditanda tangani.
“Penjelasannya adalah pelepasan hak hasil perkawinan. Termasuk sertifikat. Maka saran notaris dirundingkan dulu suami istri sebba begitu sudah ditanda tangani maka saya tidak ada lagi hak apa pun,” tuturnya.
Lily pun pulang ke rumah di Jalan Abdurahman Saleh. Namun, menjelang malam, tiba-tiba Ali Sahbudin pulang ke rumah langsung memasuki kamar. Dengan emosi langsung menendang dan mendorong tubuh Lily ke tempat tidur.
Diatas tempat tidur, Ali menampar dan meninju wajah istrinya beberapa kali. Perlawanan dilakukan Lily untuk membela diri. Namun tak berdaya menghadapi Ali.
“Bahkan, saudara terdakwa duduk diatas perut saya, menekan dan menggenjot badan saya sampai saya tidak bisa bernapas. Dia meminta saya untuk memukul wajahnya. Tapi saya tidak mau. Saya minta hentikan tapi dia berusaha terus menyiksa saya,” beber Lily.
Disebutkan Lily, sampai Ali berkeringat memaksanya untuk meminumnya. Lagi-lagi Lily menolak keinginan Ali. Hingga akhirjya, dia meminta minum ke Mbo Parti, pembantu rumah membawakan minuman.
Lily beteriak mnta tolong mbo Parti tapi tidak berani bantu. Setelah pembantu keluar, penyiksaan dilakukan lagi bahkan Ali mengancam mau membunuhnya dan anak-anaknya.
“Saya minta tolong hentikan, sampai saya ngompol di lantai. Akhirnya sekitar pukul 11.00 wib malam baru saya dilepaskan. Saya keluar kamar, dan dia mondar mandir rumah,” terangnya.
Tak terima penyiksaan yang dialaminya, besoknya 27 November 2011 Lily pun terpaksa melaporkan sang suami Ali Sahbudin ke polisi.
Baca Juga:
Dihadapan majelis hakim, Lily mengungkapkan ternyata penyiksaan yang dialaminya telah terjadi sejak tahun 2010. Hingga akhirnya pada 21 November 2010 melaporkannya ke polisi.
“Akan tetapi saya cabut karena terdakwa saat itu berjanji tidak akan mengulangi lagi. Sehingga diberikan kesempatan untuk berubah,” ucapnya.
Peristiwa itu terus terjadi hingga tahun 2012. Sampai pada akhirnya tak tahan perlakuan Ali Sahbudin, Lily menggugat cerai di bulan Januari.
“14 Februari 2012 saya sudah keluar dari rumah tepat saat sidang pertama perceraian digelar. Dan 1 September 2014, gugatan perceraian sudah inkrah,” ungkapnya.
Kepada majelis hakim, Lily meminta Ali Sahbudin dihukum seberat-beratnya.
“Sebab selama perkawinan kami sejak tahun 2000 saya tertekan psikis dan fisik. Apalagi anak saya didoktrin untuk membenci ibunya. Jadi sudah sepantasnya dia dihukum seberat-beratnya. Saya minta keadilan,” pungkasnya.
Jaksa pun menunjukan hasil visum korban. Dimana terdapat memar di leher, pergelangan tangan kanan dan kiri, punggung dan kaki kiri dan kanan serta luka akibat benda tumpul.
Dalam sidang itu, Ketua Majelis Hakim sempat memarahi Pengacara Hukum Ali Sahbudin lantaran telah menuduh Lily memberikan keterangan palsu.
“Tugas saudara hanya bertanya saja kepada saksi korban. Bukan menuduh karena saksi korban sudah diangkat sumpah tadi,” tegas Ketua Majelis Hakim.
Majelis hakim pun mempersilahkan terdakwa Ali Sahbudin memasuki ruang persidangan setelah awalnya disuruh keluar.
Ali pun membantah penjelasan dari mantan istrinya itu yang dinilainnya sebagai cerita rekayasa.
“Semuanya tidak benar. Posisi saya saat itu ada di rumah bukan pulang kerja. Bahkan, dia awalnya mengejar saya dengan pisau. Dan tidak ada pemukulan saya hanya memegangnya karena saat itu ditangannya ada pisau,” katanya.
Sementara itu Pengacara Hukum Lily Susianti, Herawan Oentoro menilai kekejaman Ali Sahbudin perbuatan yang tidak beradab.
“Saya melihat ada sisi tidak empatik seorang perempuan dianiaya seperti itu. Kita laki-laki saja terusik. Tidak beradab pelaku menganiaya seorang perempuan,” kesalnya.
Herawan juga menyayangkan majelis hakim tidak mempertanyakan bagaimana kekerasan itu terjadi. Justru yang ditanyakan mengapa kekerasan itu terjadi.
“Sementara keterbuktian perkara itu diukur dengan bagaimana terjadinya sebuah kejahatan. Namun ini sepertinya lebih mengarah kepentingan terdakwa,” ucapnya.
Herawan maklumi jika terdakwa membantah perbuatannya seperti yang diungkapkan saksi korban. “Sah-sah saja jika terdakwa membantah, tapi harus didukung dengan bukti-bukti. Sedangkan saksi korban ada bukti-bukti berupa visum akibat penyiksaan,” ujarnya.
Apalagi, disebutkan Herawan, terdakwa mengatakan saksi korban membawa gunting atau pisau. Tapi, hal itu tidak ada dalam BAP. Namun baru sekarang ini dijelaskan.
“Saksi juga sudah ada. Dalam UU KDRT cukup satu saksi maka sudah menguatkan terdakwa melakukan perbuatannya,” pungkasnya.(rob)