Jakarta, BerkatnewsTV. Ratusan entitas pinjaman online (pinjol) ilegal berhasil terungkap. Bahkan, Selasa (9/11) lalu, Bareskrim Polri menangkap seorang warga negara Tiongkok berinsial WJS di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta).
WJS terindikasi sebagai bos besar yang menyelenggarakan jasa layanan Pinjol ilegal. Di Wonogiri, Jawa Tengah, manajemen Pinjol ilegal yang dikendalikan WJS meneror nasabah ketika menagih pinjaman.
Menurut Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo pinjol atau Fintech peer to peer (P2P) lending bukan ancaman bagi industri perbankan. Sebaliknya, kehadiran Pinjol relevan untuk mengisi ceruk yang tidak terlayani bank, yakni layanan kredit mikro.
Dengan keunggulan penyelenggara P2P lending di bidang teknologi dan penetrasi pasar yang berani, perbankan dan Pinjol idealnya bisa bersinergi.
“Namun, ketika sinergi bank-Pinjol tidak terwujud, muncul pertanyaan dari mana pinjol mendapatkan modal. Pertanyaan ini, atau lebih tepatnya kecurigaan tersebut lambat laun mulai terbuka ketika polisi menindak sejumlah pinjol illegal dan menangkap sejumlah orang asing sebagai pemilik modal,” ungkapnya.
Disebutkan Bamsoet, OJK mencium adanya motif lain di luar meraup keuntungan dari praktik ilegal P2P lending. Motif lain itu mengarah pada kemungkinan pencucian uang dari luar negeri.
Maka, dalam perang melawan Pinjol ilegal, pemerintah dan OJK menerapkan pasal berlapis, perdata maupun pidana. Para pelaku Pinjol ilegal dikenakan ancaman hukuman atas tindakan pemerasan, perbuatan tidak menyenangkan, UU ITE, dan perlindungan konsumen.
Dari aspek perdata, Pinjol ilegal tidak memenuhi unsur perjanjian sesuai Pasal 13 KUP (Kitab Undang-Undang) Perdata. KUP Perdata menegaskan, pinjaman uang dilakukan dengan syarat adanya perjanjian para pihak, dalam hal ini Pinjol sebagai pihak pertama dan peminjam (debitur) sebagai pihak kedua.
Baca Juga:
“Ketika penyelenggara Pinjol ilegal tidak terdaftar dalam administrasi pemerintah maupun OJK, ketentuan para pihak dalam hukum perdata otomatis tidak sah,” jelasnya.
Aspek perdata lain yang dilanggar Pinjol ilegal tambah Bamsoet adalah objek hukum. Sama halnya dengan perjanjian para pihak, status ilegal juga membuat Pinjol illegal tidak diakui sebagai objek hukum perdata.
Status tidak resmi ini membuat perjanjian utang antara nasabah dan Pinjol ilegal tidak sah di mata hukum. Dan, ketika melakukan pemerasan serta meneror, Pinjol ilegal melanggar Pasal 368 KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan pada Pasal 335.
Bamsoet juga mengingatkan selain mewaspadai upaya pencucian uang melalui Pinjol ilegal, ada juga kejahatan di dalam manajemen perbankan yang patut menjadi keprihatinan semua pihak.
Sejumlah kasus yang mengemuka akhir-akhir ini menjadi bukti bank pun rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan, baik dilakukan orang dalam (fraud) maupun pihak luar yang memanfaatkan bank sebagai tempat menyembunyikan uang hasil kejahatan.
OJK bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berupaya memperketat aturan guna mencegah fraud di lingkungan perbankan. Kejahatan yang dilakukan orang dalam (fraud) mendapat porsi perhatian yang cukup dalam Peraturan OJK Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Penerapan Strategi Anti-Fraud bagi Bank Umum.
Fraud, menurut OJK, adalah penyimpangan atau pembiaran yang dilakukan secara sengaja untuk mengelabui, menipu, dan memanipulasi pihak bank, nasabah, atau pun pihak lain.(tmB)