Sanggau, BerkatnewsTV. Kasus dugaan pencemaran nama baik yang dituduhkan kepada Jan Purdy Rajagukguk telah bergulir di Pengadilan Negeri Sanggau.
Kasus tersebut dilaporkan mantan elit PTPN XIII, Sutek P. Mulih ke Polsek Tayan Hulu pada 11 November 2019 lalu. Namun sidang dengan agenda pembacaan surat tuntutan beberapa kali ditunda lantaran JPU belum siap.
“Sidang sudah masuk tahap pemeriksaan saksi yang meringankan atau a de charge. Dalam sidang itu, JPU sudah dimintakan oleh Hakim untuk melakukan pembacaan tuntutan di dalam sidang berikutnya. Dan penasehat hukum terdakwa juga dimintakan mempersiapkan pledoi,” ujar pengacara Jan Purdy Rajagukguk, Sinar Bintang Aritonang kepada wartawan, Sabtu (9/10).
Tetapi pada sidang berikutnya pada tanggal 29 September 2021, dia mengatakan, JPU M Nur Suryadi meminta ditunda hingga Kamis, 7 Oktober 2021. Namun saat tiba waktu sidang, M Nur Suryadi meminta untuk yang kedua kalinya ditunda pembacaan tuntutan karena belum siap. Akan tetapi, sidang pembacaan tuntutan ditunda-tunda terus oleh JPU.
“Saya sebagai pengacara terdakwa, tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Mengapa JPU menunda-nunda pembacaan tuntutan hingga 21 Oktober 2021 (1 bulan untuk mempersiapkan tuntutan). Kalau dilihat dari awal, JPU membuat surat dakwaan dapat dilihat dari mimik wajahnya dan surat dakwaannya, JPU sangat cerdas sekali karena bisa membuat surat dakwaan konstruksi hukum dicampurkan antara fitnah dan pencemaran nama baik sekaligus,” ungkapnya.
Aritonang menjelaskan, pencemaran nama baik itu diatur dalam pasal 310 ayat 1 dan 2 sedangkan fitnah itu diatur dalam pasal 311 ayat 1 ke-1. Sedangkan kepada terdakwa dibuatkan surat dakwaan Pasal 311 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) kesatu, atau Pasal 310 ayat (2) Jo 55 ayat (1) kesatu, atau Pasal 310 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) kesatu. Penyertaan tindak pidana atau deelneming.
“Akan tetapi dalam perkara ini yang disidangkan hanya sendiri saja, yaitu terdakwa Jan Purdy Rajagukguk dengan konstruksi hukum splitzing, berkas terdakwa dalam bentuk terpisah,” bebernya.
Baca Juga:
- Satelit Noaa20 Deteksi 51 Titik Panas Terpantau di Sanggau
- Dua Terdakwa PKH di Tayan Hilir Divonis Penjara
Menurut Sinar Bintang, sebenarnya hal ini dilakukan JPU biasanya karena saksinya tidak cukup, jadi salah satu pelaku tindak pidana yang melakukan peran paling kecil dimahkotai dan dijadikan Saksi Mahkota. Tetapi kemudian untuk mengungkap agar tindak pidana ini supaya lebih jelas, maka salah satu pelaku tindak pidana itu di-mahkotai. Maka disebutlah sebagai saksi mahkota.
Saksi mahkota ini, dijelaskan dia, tidak dihukum karena dia menjadi saksi mahkota untuk mengungkap tindak pidana. Dia yang turut melakukan tindak pidana itu. Jadi karena kekurangan saksi, maka dia yang menjadi saksi mahkota. Supaya persidangan itu menjadi terang.
Menjadi pertanyaan, Sinar Bintang menuturkan, Petrus Sujono di persidangan dibuat sebagai saksi, tetapi bukan saksi mahkota. Dan itu dapat dibuktikan pada 29 September 2021, yaitu pada jadwal persidangan pembacaan rentut yang ditunda.
“Kami melihat penyidik Polsek Tayan Hulu Aipda Suyatno dan Brigpol F Bimaisno Sesaka melakukan tahap dua Petrus Sujono pada tindak pidana dan laporan polisi yang sama, yang dilaporkan Sutek P. Mulih. Jadi kami semakin bingung, kenapa satu, laporan polisi yang sama dengan terlapor Petrus Sujono. Dengan surat pengaduan nomor 37/XI/2019 tanggal 11 November 2019 terhadap Petrus Sujono. Akan tetapi yang ditersangkakan adalah Jan Purdy Rajagukguk hingga menjadi terdakwa,” kesalnya.
Menurut Aritonang,, dalam pembuktian persidangan di PN Sanggau, ternyata persoalan tersebut sudah diselesaikan oleh peradilan adat Dayak di Dusun Sengawan Hilir, Desa Binjai, Kecamatan Tayan Hulu dan telah dibayarkan hukumannya terhadap Petrus Sujono 9 tael dan Jan Purdy Rajagukguk 9 tael masalah fitnah dan menyebar isu. Jika diuangkan sebesar Rp 8.824.000,-
“Menurut kesaksian di peradilan, Stepanus Asau alias Asau bahwa Sutek P. Mulih melalui telepon menyatakan bahwa dia sudah siap menerima segala keputusan yang diputuskan oleh peradilan adat Dayak, Dusun Sengawan Hilir, Desa Binjai, Kec Tayan Hulu, Kab Sanggau” katanya.
Namun penyelesaian secara peradilan adat itu justru menjadi bukti bagi Sutek P. Mulih untuk membawa kasus ini ke peradilan umum. Surat pernyataan yang dibacakan Jan Purdy Rajagukguk saat peradilan adat menjadi bukti laporan ke polisi.
Pembacaan Surat Pernyataan yang dibuat oleh Petrus Sujono dalam Pengadilan Adat tersebut, kata Aritonang lagi, terpaksa dibacakan oleh Jan Purdy Rajagukguk disebabkan Jan Purdy Rajagukguk tidak tahu permasalahan yang terjadi.
Dia hanya sebagai Manager yang mendapat laporan dari anak buahnya yaitu Petrus Sujono. Dan Petrus Sujono pada kesempatan tersebut tidak diberikan kesempatan untuk berbicara bahkan dilarang oleh Ibrahim Cs untuk membacakan Surat Pernyataan yang dia buat sendiri.
Selain dipaksa oleh Ibrahim Cs untuk membacakan Surat Pernyataan tersebut, disuruh juga oleh Kepala Desa Binjai Heriyanto supaya permasalahan selesai dan pagar dibuka, sehingga karyawan dapat bekerja kembali dan bisa gajian dan tidak menimbulkan efek lain yang lebih dahsyat.
Ia membeberkan, saat sidang adat itu, salah satu surat pernyataan itu ada pada Jan Purdy Rajagukguk. Dan ketika ditekan di sana, Jan Purdy Rajagukguk tidak tahu permasalahan ini dan diserahkan ke Petrus Sujono.
“Tetapi tujuh orang yang hadir saat sidang adat berteriak dan menekan supaya Petrus Sujono tidak membacakannya. Akhirnya dipaksa Jan Purdy Rajagukguk yang membacakannya dan atas anjuran kepala desa Binjai dengan alasan yang saya sebutkan tadi,” jelasnya.
Setelah dibacakan Jan Purdy Rajagukguk, ia menyebut, Wakapolsek Tayan Hulu Marianus mengambil surat pernyataan tersebut dari Jan Purdy Rajagukguk, setelah anak buahnya mengambil dari Petrus Sujono dan menyerahkan ke Jan Purdy Rajagukguk.
“Setelah dibacakan dan selesai, Wakapolsek mengambil surat itu dan menyebutkan bahwa surat ini menjadi dokumen negara dan tidak akan jatuh kepada siapapun. Tetapi yang menjadi suatu permasalahan adalah, kemudian surat itulah yang dibuat menjadi barang bukti bagi Sutek P. Mulih melaporkan pencemaran nama baik ke Polsek,” ungkap Aritonang.
Ia menyayangkan penyelesaian secara peradilan adat dianulir. Padahal di Indonesia diakui mengenai peradilan adat yang bisa dilihat di undang-undang dasar dan UU Nomor 5 tentang UUPA. Tetapi kenapa dilaporkan lagi ke polisi dan polisi menerima laporan tersebut, kemudian memprosesnya hingga menjadi tersangka dan disidangkan di PN Sanggau.
“Saya melihat ini sepertinya diduga ada pemaksaan. Karena harusnya sudah selesai. Dan suatu permasalahan tidak bisa disidangkan dua kali, orang itu tidak bisa dihukum dua kali. Tapi ini diulang, melanggar asas Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP). Saya lihat di kesaksian-kesaksian tidak terbukti,” imbuh Sinar Bintang. (pek)