Oleh : Wati Susilawati
Jam di tangan menunjukkan pukul 13.30 WIB, ketika saya tiba di bumi Uncak Kapuas, Kabupaten Kapuas Hulu, kawasan paling ujung Kalimantan Barat (Kalbar).
Menempuh perjalanan dengan menggunakan pesawat udara adalah kemudahan plus kenyamanan saat ini, mengingat sebelumnya Kapuas Hulu hanya bisa diakses melalui jalur darat, menggunakan mobil dengan jarak tempuh satu harian penuh.
Seiring beroperasinya rute penerbangan, Kapuas Hulu kini bisa ditempuh hanya dalam waktu 1 jam 10 menit dari ibu kota Provinsi Kalbar, Pontianak.
Hari itu, cuaca cukup panas. Angin di bulan ini cukup membuat syal di tas ransel melambai, semilirnya terasa menyapu kulit. Saya pun bergegas menuju terminal bandara.
Bandara Pangsuma, begitu tulisan terpampang di pintu kedatangan bandar udara tersebut. Diambil dari salah satu nama pejuang lokal, bandara ini berlokasi di Kelurahan Kedamin Hulu, Kecamatan Kedamin, Kabupaten Kapuas Hulu.
Bangunan bandara mirip bangunan rumah Panjang, khas rumah adat setempat. Tampak sederhana, dengan hanya memiliki satu ruang tunggu. Pemeriksaan barang dan cek barang pun digabung menjadi satu mempertegas ukuran ruangan yang tak terlalu luas tersebut.
Bandara Pangsuma dalam satu hari hanya melayani dua hingga tiga kali rute penerbangan. Nyatanya tidak butuh 10 menit ketika semua barang bawaan saya sudah aman di tangan.
Mobil carteran yang memang sudah dipesan jauh-jauh hari menunggu di luar bandara, langsung membawa saya ke penginapan setempat.
Karena hari itu adalah hari Jumat dan kedatangan pun siang, maka field trip dengan tujuan Desa Tanjung Jati pun disegerakan.
Saya tidak sendiri, saya bersama rekan satu profesi dari Pontianak dan rencananya membawa tiga rekan jurnalis lokal. Tujuan utamanya adalah mengunjungi satu desa percontohan yang tengah membangun infrastrutur dan SDM kesehatan lewat anggaran desa, sesuai dengan tujuan saya dan teman-teman siang itu.
Tak butuh lama ke lokasi desa tujuan, perjalanan dengan mobil bisa di tempuh lebih kurang 15 menit.
Desa Tanjung Jati adalah desa terdekat yang terletak di Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu.
Desa itu dihuni 600 jiwa dengan 184 kepala keluarga. Uniknya, Desa Tanjung Jati terpisah dari daratan, sehingga jika dilihat dari atas, Desa Tanjung jati menyerupai pulau tersendiri.
Karena mobil kami tidak bisa masuk desa lantaran hanya bisa ditempuh dengan akses jembatan gantung, kami pun terpaksa berhenti di batas desa.
Jembatan gantung tak bernama ini menurut informasi di bangun awal tahun 2010. Jembatan ini adalah akses utama bagi penduduk desa yang ingin ke kota, begitu juga sebaliknya.
Memiliki panjang lebih kurang 200 meter dan lebar tak sampai 1 meter ini terasa berayun saat kami dan rombongan berjalan pelan memasuki desa.
Kebetulan hari itu, akan ada pemeriksaan lansia di posyandu desa. Fasilitator langsung mengarahkan kami ke lokasi. Karena ingin menikmati suasana desa, berjalan kaki menuju posyandu yang terletak di tengah desa pun menjadi pilihan. Sepajang perjalanan kami pun mendapati hal-hal menarik.
Penduduk desa umumnya adalah petani padi dan peladang. Berbagai pekerjaan buruh pun dilakukan untuk menyambung hidup, termasuk meramu Pari. Sejenis pohon Pari yang daunnya bisa diolah menjadi bubuk tepung untuk kesehatan.
“Daun Pari juga menjadi sandaran di sini. Lumayan per kilo dihargai Rp 30 ribu. Biasanya mereka bisa meramu dengan mesin sendiri hingga 50 kilo tapi tidak selalu ada musim-musimnya panen,” kata Fasilitator Kecamatan (faskem) Harri Ramdani.
Pohon Pari umumnya tembuh di daerah rawa dan banyak dijumpai di sekeliling desa, terutama di tepian sungai. Ada penduduk desa menjadikan daun Pari sebagai tambahan penghasilan, ada juga sebagian penduduk yang menjadi pemasok bibit pohon Pari.
Di sepajang jalan menuju Posyandu desa, banyak dijumpai para ibu yang mengayak padi. Prianya tampak asik membantu sang istri mengumpulkan sekaligus mengeringkan sekam padi yang sudah diayak. Nah, ini baru berbagi peran yang manis, pikirku.(*)