Pontianak, BerkatnewsTV. Tata cara makan tradisional ala Melayu yang disebut saprahan telah berlangsung sejak jaman kerajaan tempo dulu. Saprahan yang berarti berhampar mengandung filosofi duduk sama rendah berdiri sama tinggi .
Artinya, dalam tata cara makan tradisional ala Melayu ini tidak melihat latar belakang dari siapa pun. Namun, setiap saprahan tetap ada yang disebut dengan kepala saprah, yang duduk paling ujung bagian tengah bentangan kain alas.
Saat jaman kerajaan, yang duduk sebagai kepala saprah adalah Raja kemudian dikiri kanan diikuti para panglima dan tetua kerajaan serta tokoh ulama.
Setiap satu kelompok saprahan tidak dibatasi, namun melihat kondisi luas ruangan agar kain saprah yang dibentangkan dapat tercukupi. Lazimnya jumlah satu saprah paling sedikit diisi 10-12 orang.
Ada pun peralatan makan yang digunakan untuk saprahan cukup beragam. Selain piring ada juga kobokan, sebuah mangkok yang berisikan air untuk cuci tangan. Sebab tradisi saprahan saat makan tidak menggunakan sendok.
Uniknya di saprahan ini, air minum yang digunakan adalah air serbat yang berwarna merah. Bahan air serbat yang kerap disebut air pengusir ini terbuat dari rempah-rempah sedangkan bahan pewarnanya agar menjadi merah menggunakan kayu sepang. Pada jaman kerajaan, air serbat ini disajikan didalam sebuah tempat yang disebut gelas labu dari bahan kaca bermotifkan ukiran.
Untuk lauk pauk saat itu digunakan sebuah mangkok yang disebut dengan mukon atau mangkok basi yang memiliki tutup diatasnya. Kononnya, makanan tidak akan cepat basi jika disimpan dalam mangkok basi atau mukon ini.
Lauk pauk yang kerap digunakan yakni nasi putih dan nasi kebuli, daging semur, ayam putih, terong dalca, sayur pacri nenas, selada telur ditambah sambal bawang dan tomat.
“Berbeda dari tahun sebelumnya, saprahan tahun 2019 ini ditambah dengan unsur inovasi untuk menggali kreativitas para kader PKK dan generasi muda dalam kreasi menu berbahan dasar ikan,” kata Ketua Tim Penggerak (TP) PKK Kota Pontianak, Yanieta Arbiastutie Kamtono.
Penambahan ini dikatakan Yanieta bukan berarti TP PKK ingin mengubah tradisi saprahan, tetapi ingin memperkaya tradisi yang sudah ada, mencoba menyelaraskan antara tradisi dan program pemerintah salah satunya program gemar makan ikan.
Sebab menurutnya Ikan adalah salah satu sumber protein hewani yang paling kaya nutrisi sehingga TP PKK menyelaraskan antara budaya saprahan dengan gerakan memasyarakatkan makan ikan.
“Sasaran digelarnya lomba ini adalah agar masyarakat lebih mengenal budaya daerahnya,” pungkasnya.(jim/rob)