Kubu Raya, BerkatnewsTV. Pelayanan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kubu Raya akan diterapkan dengan sistem online atau terintegrasi melalui sistem dalam jaringan atau host to host.
Kubu Raya merupakan kabupaten pertama di Kalbar yang menerapkan sistem tersebut, yang dilaunching Gubernur Kalbar Sutarmidji, Selasa (24/9).
Pelayanan BPHTB terintegrasi bertujuan mengoptimalkan pendapatan asli daerah dengan mengupayakan tidak terjadinya kebocoran-kebocoran di dalam proses pengumpulan pajak dan retribusi daerah.
“Langkah ini untuk percepatan, kemudahan, dan penyederhanaan proses melalui pemanfaatan secara maksimal jaringan teknologi informasi atau by online system yang telah terpasang di kantor BPPRD Kubu Raya, Pusat Data Informasi kantor BPN/ATR dan Bank Kalbar,” tutur Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan.
Muda menerangkan, tujuan pelayanan terintegrasi atau host to host adalah meningkatkan mutu pelayanan BPHTB ke masyarakat. Sekaligus mengoptimalkan pendapatan BPHTB yang menjadi pendapatan asli daerah (PAD).
Hal itu demi percepatan pembangunan serta menutup peluang terjadinya fraud atau kecurangan-kecurangan dan tindakan koruptif lainnya.
“Alhamdulillah kita mendapatkan dukungan kuat dari Gubernur Kalbar, Tim Korsupgah KPK, Kakanwil BPN/ATR, dan Direksi Bank Kalbar dalam bentuk komitmen bersama dan diwujudkan dalam penandatanganan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama oleh pemerintah kabupaten/kota se-Kalbar,” sebutnya.
Muda apresisi Kabupaten Kubu Raya mendapatkan kesempatan pertama di Kalbar untuk melaksanakan program percepatan pelayanan BPHTB secara integrasi dalam jaringan sistem atau host to host.
Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kubu Raya Supriaji menjelaskan pembayaran BPHTB ini dilakukan di loket Bank Kalbar.
“Sedangkan yang dimaksud dengan sistem online adalah proses validasi data sudah terintegrasi antara BPPRD dengan BPN,” terangnya.
Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kubu Raya mencatat penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kubu Raya selama tahun 2018 yakni dari komponen BPHTB dan PBB P2.
Realisasi BPHTB pada tahun 2018 sebesar Rp69,7 miliar atau naik 126,67 persen dari target Rp55 miliar.
Kenaikan itu disebutkan Supriaji lebih dominan dikarenakan peralihan hak di sektor perkebunan, sektor properti (perumahan) serta transaksi umum.
“Sedangkan PBB naik 101 persen atau terealisasi Rp12,1 miliar dari target Rp12 miliar dengan jumlah wajib pajak sebanyak 367 ribu tersebar di seluruh desa,” jelasnya.
Hal itu ia katakan juga adanya upaya dan langkah pihaknya melakukan pemuktahiran data terhadap wajib pajak seperti perbaikan data maupun proaktif lakukan penagihan terhadap wajib pajak.
“Kami juga melakukan ZNT atau zonasi terhadap penetapan PBB melalui apraisal atau penilai. Dimana setiap ring atau zona nilainya berbeda per meternya,” terangnya.
Menurut Supriaji kenaikan BPHTB dan PBB yang sangat signifikan ini merupakan sejarah baginya selama menjabat tiga tahun di BPPRD. “Ini menggembirakan bisa melampaui target untuk pertama kali,” ucapnya.
Pajak daerah dari komponen lain yang memberikan kontribusi besar PAD adalah pajak restoran dengan nilai Rp9,3 miliar atau naik 119 persen dari target 7,8 miliar kemudian pajak hotel Rp911 juta dari target Rp714 juta.
“Selain itu juga pajak hiburan sebesar Rp3,8 miliar atau naik 110 persen dari target Rp3,3 miliar. Kemudian pajak reklame Rp1,5 miliar atau naik 109 persen dari target Rp1,3 miliar,” tuturnya.
Pajak penerangan jalan juga mengalami kenaikan dari target Rp23,7 miliar naik menjadi Rp27,1 miliar atau 114 persen. Pajak pengambilan mineral bukan logam dan batuan naik Rp5,5 miliar atau 111 persen dari target Rp5 miliar.
Kemudian pajak parkir naik Rp3,2 miliar atau 109 persen dari target Rp3 miliar. Pajak air tanah naik Rp46 juta atau 113 persen dari target Rp40,5 juta. Serta pajak sarang walet naik Rp80 juta atau 112 persen dari target Rp71 juta.
Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) telah menjadi atensi serius KPK. Selain BPHTB, waktu lalu KPK juga melirik transaksi pajak hotel, restoran, hiburan dan parkir.
Penerapan sistem ini dilakukan agar omzet yang disampaikan pelaku usaha dapat akurat. Intinya harus ada transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan data transaksi pajak hotel, restoran, tempat hiburan, dan parkir,” jelas Tim Korsupgah KPK RI, Tri Budi waktu lalu.
Menurutnya, selama ini transaksi usaha hotel, restoran, tempat hiburan, dan parkir masih menggunakan self assessment atau memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terutang.
Padahal pemerintah daerah tidak memiliki data pembanding untuk hal itu. Karena itu, dirinya meminta para pengusaha untuk membuka diri dan memberikan akses seluas-luasnya kepada pemerintah daerah terkait pembayaran dan pemungutan pajak daerah.
“Perlu diketahui, di beberapa daerah kenaikannya lumayan besar hanya dengan pemasangan alat untuk sama-sama kita transparan pelaporannya. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau tidak. Tapi kita benahi dulu di tata kelolanya,” sebutnya.